Aktivis PRP Ditangkapi Tanpa Bukti

Jefry Wenda menyeduh kopi panas pada Selasa siang yang terik, 10 Mei 2022 lalu. Saat itu, ia mengantuk dan lelah usai melancarkan aksi. Sebab sejak Senin malam ia bersama rekan-rekannya menyiapkan aksi unjuk rasa penolakan terhadap pemekaran daerah otonomi baru (DOB) di Papua. Pada 6 April lalu, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Selatan, Papua Tengah, dan Pegunungan Tengah menjadi UU.

Juru Bicara Petisi Rakyat Papua (PRP) ini menilai pemekaran wilayah bukan untuk kepentingan masyarakat Papua. Terlebih, menurutnya, keputusan untuk memecah wilayah Papua tidak melibatkan Orang Asli Papua (OAP). Oleh sebab itu, ia menggalang gerakan massa untuk menghentikan pemekaran wilayah, sekaligus mendesak pemerintah untuk mencabut otonomi khusus di Bumi Cendrawasih.

Belum habis kopi di cangkir, Jefry yang tengah berada di kantor KontraS Papua, Kota Jayapura didatangi sejumlah orang. Mereka mengendarai 3 mobil Avanza. Dua orang di antaranya menghampiri Jefry. Salah satu dari mereka meminta agar Jefry ikut ke Polresta Jayapura. Dalam penangkapan ini, polisi juga menangkap sejumlah orang lain berinisial OS, OB, IK, AD, MM, dan NI. Dalam beberapa video yang diunggah di Youtube, Jefry yang saat itu mengenakan kaos berwarna putih tampak santai mengikuti langsung pria berbaju hitam.

Jefry dituduh melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 27 ayat 3 tentang pencemar nama baik lantaran membikin status di Facebook pada 7 Mei 2022. “Iya, saya ada tulis dalam status saya di Facebook. Kemudian status itu dipersoalkan,” terang Wenda pada Jaring, Senin, 31 Oktober 2022.

Isinya memuat percakapan antara Jefry dengan Kasat Intelkam Polresta Jayapura. “Sebelum aksi saya memberikan surat pemberitahuan kepada Polresta Jayapura kemudian malamnya dari Kasat Intelkam telepon (mengancam) saya,” kata dia. Dalam percakapan itu, Jefry diminta agar tidak melakukan aksi demonstrasi. Kalau tidak, maka pihak polisi akan melakukan penangkapan. “Hanya itu saja K,” tanya Jefry. “Kalau hanya gitu saja, sampai jumpa di medan juang 10 Mei mendatang,” sambung Jefry ketika itu.

Status tersebut direspon sedikitnya 257 pengguna Facebook. Dikomentari sebanyak 101 komentar dan dibagikan 37 kali. “Nah setelah saya posting, saya ditangkap karena kasus UU ITE karena pencemaran nama baik, padahal itu juga hasil bukti percakapan saya. Saya punya chatingan. Masih ada. Dan ketika kasus itu saya kasih naik, maka saya langsung ditangkap,” tuturnya.

Jefry mengatakan bahwa proses penangkapan berlangsung singkat. Polisi tampak buru-buru. Setelah melakukan penggeledahan, polisi mengambil ponsel miliknya, dan menggiring Jefry ke mobil. Meski begitu, Jefry menganggap hal ini sudah biasa. “Itu (penangkapan) tidak lama. Karena langsung dibebaskan. Hanya 1×24 jam karena minim bukti,” terang dia.

Bukan sekali dua kali Jefry berurusan dengan polisi. Sebagai aktivis Papua, Jefry dan kawan-kawannya kerap menghadapi kriminalisasi dan tindak diskriminasi. “Bagi masa aksi, terlepas dari saya, itu sudah sering sekali mendapatkan perlakuan yang sangat represif, dipukul segala macam,” ungkapnya.

Jefry mengaku cukup resah menghadapi tekanan yang datang silih berganti. UU ITE, kata dia, hanya salah satu alat untuk mengkriminalisasi orang Papua. Selain itu, gerakan yang dilakukan oleh PRP juga kerap dijegal. Pada Kamis, 15 September 2022 lalu, misalnya, fanpage Facebook Petisi Rakyat Papua diambil alih tanpa persetujuan. “Apabila ada postingan di halaman Facebook PRP di luar dari garis politik organisasi perjuangan pembebasan nasional, maka itu bukan dilakukan oleh admin dengan sengaja,” begitu pernyataan Jefry di halaman Facebook pribadinya.

Menurut Jefry, narasi yang digunakan pemerintah untuk menjegal aksi PRP terbilang beragam. Mulai dari menghasut warga dengan spanduk yang menyatakan bahwa Jefry masuk daftar pencarian orang (DPO), hingga dituduh menerima uang. “Saya dituduh mendapatkan uang dari salah satu pejabat dan segala macam,” tuturnya. Padahal, gaya hidup Jefry berbanding terbalik dengan rumor yang beredar. Wenda selalu nampak sederhana. Penampilannya pun juga jauh dari kata mewah. Kacamata berbingkai kotak hitam, celana pendek dan kaos oblong adalah outfit pilihan Wenda sehari-hari. “Propaganda yang dilakukan pemerintah itu sudah menjadi hal yang biasa ya,” katanya. (Reka Kajaksana)

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Perjanjian Gadai Mentah di Hadapan UU ITE
Sepotong Pesan Whatsapp atas Nama Saidah
Putusan Bebas Tak Benar-Benar Membebaskan
Mengungkap Tindak Sewenang-wenang Perusahaan, Septia Dijerat ITE
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!