Dipenjara Kala Bersuara Antirasisme

Assa Asso sudah lebih dari setahun menghirup udara bebas. Pada Juli 2020 lalu, ia divonis penjara selama 10 bulan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Abepura, Jayapura, Papua. Pria yang akrab dipanggil Yally ini sebelumnya dituduh makar dan menghasut orang lain melakukan perbuatan pidana lewat media sosial Facebook. “Saya itu sebenarnya kena UU ITE, tapi karena kapasitas penyidik yang kurang baik jadi saya dikenai Pasal Makar,” kata Yally ketika dihubungi, Sabtu, 17 Desember 2022.

Penahanan Yally bermula saat ia ditangkap sejumlah polisi dan tentara saat melintasi Jl. Raya Abepura. Ketika itu ia berkendara mengendarai sepeda motor setelah mengantar seorang kawan ke Bandara Sentani, Senin pagi, 23 September 2019. “Waktu itu flight pagi. Pukul enam waktu Papua,” jelasnya.

Jelang siang, Yally memacu sepeda motornya ke arah Kota Jayapura. Jarak antara bandara dengan Jayapura tidak terlalu jauh. Sekira hampir 30 kilometer. Tapi karena daerah perbatasan kabupaten itu dijaga sejumlah polisi dan tentara, Yally memilih memutar arah. “Dalam perjalanan saya diikuti Polisi. Setelah dikejar dan saat ditangkap saat itu mereka bilang ko ni juga salah satu orang papua yang ikut demo-demo di sana? Mengapa ko mau jalan,” tuturnya menirukan perkataan Polisi.

“Saya bilang. Abang, saya ini tidak terlibat dalam aksi. Saya karena lihat dari sana kebetulan tadi Polantas suruh balik, jadi saya balik ke Sentani,” kata Yally mengingat percakapan dengan polisi.

Alih-alih mendengarkan alasan Yally, polisi malah acuh tak acuh. Empat orang berpakaian kaos berwarna hitam, bercelana pendek, lengkap dengan sepucuk pistol langsung menciduk Yally. Ia dibawa ke Mako Brimob Kotaraja menggunakan mobil Avanza. Sementara motornya ditinggal begitu saja di pinggir jalan. “Sampai Mako Brimob itu ada beberapa orang Papua yang kena tangkap. Mereka dikelompokkan, sesuai kampus mereka berasal. Tapi karena mereka tidak kuliah, jadi saya digiring ke ruang interogasi saja,” terangnya.

Sejak dibawa masuk ke dalam ruang interogasi, Yally tak lagi dapat mengakses telepon genggamnya, barang-barang yang ada bersamanya disita, termasuk sepeda motor Honda Megapro yang ia tunggangi untuk mengantar kawan pagi itu. “Sembilan jam diperiksa,” kata dia.

Penangkapan sewenang-wenang terhadap Yally merupakan buntut dari rentetan peristiwa unjuk rasa yang dilakukan masyarakat di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat sejak 19 Agustus 2019. Aksi ini dipicu oleh tindakan rasialisme yang terjadi 4 hari sebelumnya, 16 Agustus.

Saat itu, asrama mahasiswa asal Papua di Surabaya, Jawa Timur dikepung sejumlah orang yang berasal dari organisasi masyarakat, tentara, dan petugas kecamatan. Para mahasiswa dituduh melakukan perusakan tiang Bendera Merah Putih yang dipasang aparatur daerah tersebut, Kamis, 15 Agustus 2019.

Dalam rekaman video yang beredar di media sosial sejumlah orang berseragam ormas, terdiri dari Pemuda Pancasila dan Benteng NKRI tak segan melakukan penyerangan. Ada pula tentara yang mencaki-maki. Bersamaan dengan itu, sejumlah kata-kata rasial berupa nama-nama binatang terlontar ke arah mahasiswa Papua yang bertahan di dalam asrama.

Penyerangan terhadap mahasiswa bertambah panas sehari setelahnya. Sekitar pukul 3 sore, pihak kepolisian melayangkan peringatan yang meminta agar para mahasiswa menyerahkan diri. Tak lama mereka menembakkan gas air mata ke arah asrama. Aparat Brimob bersenjata laras panjang pun merangsek masuk asrama setelah menjebol gerbang. Dari dalam asrama, polisi sedikitnya menangkap 40 lebih mahasiswa.

Penyerangan sekaligus tindakan rasisme di Surabaya diketahui Yally tak berapa lama. Linimasa sosial media saat itu ramai. Tak sedikit warganet yang mengutuki apa yang dilakukan aparat terhadap mahasiswa. Pada 18 Agustus 2019, Yally pun mengunggah status di Facebooknya. “Besok wajib libur diri dan lumpuhkan kota para kapital & klonialism endonehsa. Jika Anda merasa diri martabat direndahkan, kau adalah sesungguhnya ciptaan Yang mulia dan sempurna,” tulisnya saat itu. Belakangan postingan ini dijadikan barang bukti oleh polisi untuk menjerat Yally ke meja hijau.

Menurut Yally, saat itu sejumlah unjuk rasa antirasisme menjalar di hampir seluruh kota dan kabupaten. Sebagian besar unjuk rasa pun berakhir rusuh. Kerusuhan pecah pertama kali di Manokwari, Papua Barat pada 19 Agustus 2019. Kerusuhan berikutnya terjadi di kota-kota lain seperti Sorong, Fakfak, Timika, Deiyai dan Jayapura. Kemudian pada September, kerusuhan kembali terjadi di Jayapura dan Wamena.

Aksi massa ini yang kemudian yang menjadi alasan polisi melakukan penangkapan secara serampangan. Yally yang hanya kebetulan lewat tak lepas dari tindak represi polisi. Ia dan puluhan orang Papua lainnya ditangkap tanpa surat. Mereka sempat dikurung di Mako Brimob Kotaraja sebelum ditahan di Kepolisian Daerah Papua. Menurut Yally, lebar sel yang ditinggali berukuran tak lebih dari 3X5 meter persegi. Sel seluas itu diisi 14 orang. Akibatnya mereka harus tidur duduk, terkadang berdiri. “Efeknya sampai sekarang lutut masih suka kram,” kata Yally sembari mengaku tak pernah memeriksakan penyakitnya itu ke dokter.

“Untuk mandi keluar atau buang air kecil kami dapat jatah selama 25 menit. Keluar bergilir lima orang masuk, nanti ganti sama orang lain lagi lima orang.”

“Makan pun, kami diberi makanan dengan nasi basi. Dicampur dengan insang ikan, atau tali perutnya ikan. Dan itu mereka masak, nanti mereka kasih makan itu,” ia menambahkan.

Dari itu semua, menurut Sally, yang paling menyedihkan ialah pelayanan kesehatan. Para tahanan harus menunggu sampai sakit parah baru diobati. “Nanti su menderita baru ada dan Provost datang. Baru kita bisa diantar ke rumah sakit yang ada di dalam. Memang sangat tidak manusiawi juga diperlakukan di dalam itu,” ungkapnya. Sally sendiri sempat terkena rematik, juga menderita mata ikan saat mendekam di penjara.

Hampir setahun Yally berada di penjara. Selama itu pula ia tak pernah menjumpai keluarganya. “Sa larang keluarga menjenguk,” katanya singkat. Fotografer Papuan Voices ini sengaja tidak ingin dijenguk agar keluarganya tetap aman.

Penderitaan Yally berakhir Senin, 20 Juli 2020. Hakim Ketua Maria Magdalena Sitanggang menandatangani surat pembebasan. Namun dua tahun sejak ia bebas, barang-barang yang sebelumnya disita tak pernah kembali. Aktivitas digitalnya pun disinyalir masih diawasi. Jika Sally membikin status pada laman pribadinya, entah mengapa status itu langsung terhapus. “Tanpa jejak,” ujarnya. Oleh sebab itu, Yally memutuskan untuk menggunakan akun lain untuk berjejaring di sosial media. (Reka Kajaksana)

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Kisruh Organisasi Hingga Pencemaran Nama Presiden
Stella: Tak Terkira Parahnya Dampak UU ITE
Dibayangi UU ITE dan Kemenangan Warga atas Air
Berkasus ITE Setelah KDRT
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!