Buntut Panjang Kriminalisasi Sadli

Namanya Muhammad Sadli Saleh. Ia wartawan sekaligus pimpinan redaksi Liputanpersada.com. Pada Rabu siang, 10 Juli 2019 lalu, ia menerbitkan opini berjudul “Abracadabra: Simpang Lima Labungkari Disulap Menjadi Simpang Empat.”  Tulisan ini mengkritik Bupati Buton Tengah Samahudin.

Dalam tulisannya, Sadli menyoroti dugaan penggelembungan anggaran proyek pembangunan persimpangan jalan Labungkari dari Rp 4 miliar menjadi Rp 6,8 miliar. Proyek ini juga dinilai tidak transparan dan tanpa perencanaan matang. Persimpangan jalan yang seharusnya terdiri atas lima ruas itu, menurut Sadli, dibangun empat ruas alias simpang empat. Proyek tersebut juga sempat mendapat sorotan dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Buton Tengah, La Goapu.   

Beberapa jam setelah diterbitkan, tempat tinggal Sadli disatroni tiga orang. Waktu itu memasuki waktu Isya, tepat Pukul 07.00 Waktu Indonesia Tengah. Ia menggambarkan tiga orang ini yang tak asing ini sebagai orang berperawakan tegap. Meski tak akrab, Sadli mengenalnya karena mereka kerap berada di sekitar Bupati Buton Tengah. Saat itu, katanya, hanya seorang dari mereka yang mengajak Sadli berbicara. Dua orang lain berjaga di pintu depan dan belakang.

“Ada apa bang,” tanya Sadli memulai percakapan.

“Beritamu itu bagaimana? Tidak usahlah buat-buat berita seperti itu,” jawab salah seorang dari mereka berterus-terang.

Mendengar perkataan tersebut Sadli tidak bisa tidak kaget. Sepanjang karirnya sebagai wartawan, baru kali itu ia disambangi sejumlah orang ke rumah. Meski begitu, Sadli bergeming. Ia menganjurkan agar pihak yang keberatan menggunakan hak jawab, hak koreksi, atau mengadu ke Dewan Pers seperti tercantum dalam nota kesepahaman (MoU) antara Kepolisian RI dan Dewan Pers pada 2017. Bupati, kata dia, juga perlu memberikan klarifikasi lewat konferensi pers terkait proyek miliaran Rupiah tersebut. “Saya pun menyanggupi untuk melakukan koreksi,” ujarnya.

Menanggapi tulisan yang juga tersebar di media sosial tersebut, Bupati Samahudin malah mengadukan Sadli ke kepolisian lewat Biro Hukum Pemerintah Daerah Buton Tengah. Dua pejabat Pemda Kabupaten Buton Tengah, yakni Kepala Bagian Hukum Pemkab Buton Tengah, Ahmad Sabir dan Kadis Kominfo Buteng, La Ota yang membawa laporan tersebut ke Polres Baubau pada 27 Juli 2019.

Sadli dituduh melanggar pasal pencemaran nama serta penyebaran informasi untuk menimbulkan kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan sebagaimana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Jaksa memakai pasal-pasal yang sama dalam dakwaan primer-sekundernya.

Dua bulan berselang, Sadli memenuhi panggilan polisi. Tepatnya pada 4 September 2019. Ia berkendara dan menaiki kapal penyebrangan sejauh 185 kilometer dari rumahnya. Perjalanan jauh ini bukan kali pertama dilakukan Sadli. Sebagai jurnalis, ia sering bertugas ke Polres Baubau, sehingga mengenal sejumlah polisi. “Begitu sampai komunikasi dengan para penyidik enak sekali, diajak makan juga. Berkas-berkas seperti dirapikan. Saya sudah percaya diri sekali kalau hari itu hanya mengambil laptop lalu pulang,” ia bercerita.

Dalam pemeriksaan tersebut, penyidik menyita satu unit laptop sebagai barang bukti. “Saat itu saya kira laptop akan dikembalikan. Saya pikir saya akan bebas,” lanjut Sadli. Tapi dugaannya salah. Alat kerja miliknya tersebut tak pernah kembali sampai dua kali menjalani pemeriksaan. Sadli malah ditetapkan sebagai tersangka dengan berkas perkara Nomor: BP/94/XII/2019 Reskrim tertanggal 11 Desember 2019.

Namun saat itu Sadli masih diizinkan pulang. Baru pada 17 Desember 2019, Sadli dipanggil jaksa dan ditahan di Rutan Baubau selama 20 hari sejak 17 Desember sampai 5 Januari 2020. “Saat itu saya baru tahu, kalau saya ini sebenarnya tidak punya teman,” terangnya pada Jaring.id pada 13 September 2022.

Orang pertama yang mengunjunginya di penjara ialah bapaknya sendiri. “Saya masih ingat bagaimana sipir penjara memanggil nama saya untuk menemui keluarga,” ungkapnya. Saat itu, Sadli menceritakan, air matanya pecah tak terbendung. Bapaknya tak menyangka pekerjaan Sadli selama ini bisa menyeretnya sampai ke jeruji besi.

Dalam masa penahanan, Sadli harus rela tidur dengan alas tipis. Berseragam tahanan berwarna oranye. Dan rambut panjang yang bertahun-tahun ia pelihara pun kandas di tangan sipir penjara. Satu hal yang membuatnya bersyukur ialah ia tetap hidup. “Di sel itu saya bertemu kawan lama yang kebetulan juga kenal dengan ketiga orang yang sempat ke rumah. Mereka bilang saya memang tadinya ingin dihabisi,” terang Sadli. Hal lain ialah limpahan dukungan dari pelbagai organisasi pers, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) maupun Dewan Pers.

Sebelumnya, Dewan Pers sudah menyatakan tulisan Sadli adalah karya jurnalistik dalam bentuk opini. Artinya, penyelesaian masalah ini seharusnya merujuk pada mekanisme dalam Undang-Undang Pers, bukan Undang-Undang ITE. Sementara, kata dia, AJI memberikan bantuan hukum, moril, hingga pemberitaan tentang kasus yang membelitnya.

Meski begitu, desakan yang disampaikan sejumlah pihak mentah di hadapan hakim. Pengadilan Negeri Pasarwajo pada 26 Maret 2020 lalu menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada Sadli.

Akibatnya, Sadli tak lagi bisa menafkahi keluarga dengan anak yang saat itu masih berusia 2,5 tahun. Terlebih istri Sadli, Siti Marfuah yang bekerja sebagai tenaga honorer di DPRD Buton Tengah saat itu pun terkena imbasnya. Ia diberhentikan dengan alasan yang tidak jelas pada September 2019. Honor Rp 680 ribu yang seharusnya ia terima disetop berdasarkan SK Bupati Buton Tengah. Sejak itu, pengabdiannya sebagai tenaga honorer yang dimulai 2015 berakhir. “Dalam sel tidak ada yang paling diingat kecuali wajah anak dan istri,” ungkapnya.

Dengan kondisi tanpa pekerjaan, sang isteri membawa anaknya ke rumah kedua orang tua yang bekerja sebagai nelayan. Kondisi ini berlangsung hingga Sadli menjalani masa hukuman lebih dari satu tahun di dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kota Baubau. Ia bebas bersyarat setelah menjalani dua per tiga masa hukuman pada Rabu, 17 Maret 2021.

Insyaallah saya akan tetap berkarya menjadi jurnalis, dan saya tetap membutuhkan bimbingan dari teman-teman di Sultra. Dan untuk teman-teman agar dapat menerima saya kembali di dunia jurnalis,” ucap Sadli sesaat setelah keluar penjara.

Sejak itu, lebih dari setahun setelah pembebasannya, Sadli mengaku masih trauma melakukan kerja jurnalistik. Terlebih menulis berita dugaan korupsi yang dilakukan pejabat di daerahnya. “Waktu itu ada berita tetangga dimakan buaya. Saya ingin meliput ke sana, anak saya ingin ikut. Akhirnya saya bawa. Tapi karena di sana banyak polisi yang berjaga, anak saya menahan kaki. Saya tidak boleh masuk. Tidak boleh dekat-dekat dengan polisi, takut bapaknya pergi lagi,” kenangnya terbata-bata. (Reka Kajaksana)

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Kisruh Organisasi Hingga Pencemaran Nama Presiden
Empat Tahun Menunggu Kepastian Hukum
Dibui, Bayi, dan Asimilasi
Pembungkaman Ekspresi di Ruang Akademik
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!