Dibui, Bayi, dan Asimilasi

Kalau saya lihat foto ini, sampai sekarang saya pasti menangis. Melihat kondisi bayi saya tidur dengan nyamuk yang sangat banyak.”

Kalimat itu ditulis Isma Khaira untuk menerangkan tiga foto yang dikirim lewat aplikasi pesan WhatsApp. Foto pertama memperlihatkan Isma berdiri di balik jendela jeruji besi sambil menggendong bayinya. Foto kedua berlatar laut ialah Isma ketika tengah bersama suami dan dua anaknya. Adapun foto ketiga, memperlihatkan seorang bayi yang sedang tidur berselimut di lantai beralas tikar plastik. Di belakang bayi itu tampak beberapa perempuan dewasa sedang tertidur pulas.

Foto pertama dan ketiga itulah yang membuat Isma selalu merasa sedih. Foto diambil ketika Isma mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, pada Februari 2021 lalu. Dua tahun berlalu, kenangan pahit itu masih membekas di dalam ingatannya “Saya akui, hukum di negara kita tidak ada bagi masyarakat miskin seperti saya,” kata Isma ketika dihubungi, Senin, 13 Maret 2023.

Isma menceritakan bagaimana dirinya bisa sampai menempati hotel prodeo. Semua berawal dari cekcok antara keluarganya dengan Bakhtiar, Kepala Desa Lhok Puuk, Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara pada Kamis, 2 April 2020. Bakhtiar kemudian melaporkan Isma lantaran diduga melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada Senin, 8 Februari 2021, Pengadilan Negeri Lhoksukon memutuskan Isma bersalah dan menjatuhkan vonis 3 bulan penjara. Lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut lima bulan penjara. Saat itu, Isma sedang dalam keadaan hamil anak keempat.

Pertengkaran Isma dan Bakhtiar bermula dari sengketa tanah antara orang tua Isma dengan salah satu warga desa lainnya. Kedua keluarga sama-sama mengklaim sebidang tanah. Pagar yang dipasang orangtua Isma di tanah tersebut sampai harus dirusak oleh tetangganya. Tak terima dengan perlakuan warga tersebut, orang tua Isma melaporkannya ke Kelurahan. Saat itu kepala desa mengatakan akan menyelesaikan persoalan tersebut. “Tetapi setelah kami menunggu berminggu-minggu belum juga diselesaikan, bahkan hingga tiga bulan lamanya. Karena masalah ini belum selesai, kami tidak bisa menanam apa pun di lahan itu,” kata Isma.

Ayah Isma lantas berinisiatif menemui Kepala Dusun, Musliadi guna menceritakan perihal penyelesaian perkara sengketa tanah tersebut. “Bagaimana bisa seorang kepala desa tidak bisa menyelesaikan permasalahan kecil seperti itu. Masa harus sampai ke pengadilan?” kata Isma mengulangi keluhan orang tuanya saat itu.

Ucapan tersebut kemudian sampai ke telinga Bakhtiar. Naik pitam. Ia kemudian mendatangi rumah orang tua Isma dengan berucap kata-kata kasar. Ayah dan ibunya tidak bisa tidak kaget dengan ucapan kepala desa. Saat itu, Isma dan suami, serta adiknya menjadi saksi bagaimana Bakhtiar mencaci-maki.

Suami Isma, Fauzi, mencoba menengahi sambil menyatakan bahwa apa yang diucapkan Bakhtiar tak patut disampaikan kepada orang yang lebih tua. Alih-alih meminta maaf, Bakhtiar malah menyerang Fauzi. Ibu yang bermaksud melerai pun dianggap memukul kepala Bakhtiar.

Setelah kejadian tersebut, menurut Isma, keluarganya mendapat panggilan telepon yang memberitahukan kalau ibu Isma dilaporkan ke polisi karena kasus pengeroyokan. Padahal, menurut Isma, ibunya sama sekali tidak berniat memukul atau mencelakai kepala desa. Hal itu ditunjukkan dengan rekaman video berdurasi lebih dari 30 detik yang diambil oleh adik Isma.

“Laporan itu membuat kami heran. Kasus ini pun sampai juga ke pengadilan, tetapi ibu saya tidak terkena hukuman. Laporan kepala desa membuat saya kesal sampai akhirnya saya bilang ke adik saya, biar saya sebarkan videonya. Biar orang tahu apa yang sudah terjadi. Video itu saya posting di Facebook,” ungkapnya.

“Jadi, kami tidak mengeroyok kepala desa. Saya perlihatkan bukti di video itu,” ia melanjutkan.

Isma lantas dipanggil ke Polsek Seunuddon untuk dimintai keterangan perihal laporan pengeroyokan. Karena terus dicecar pertanyaan, Isma pun menunjukkan video di ponselnya kepada polisi. “Mereka (polisi) menyarankan supaya saya menghapus postingan itu. Saya bilang, untuk apa dihapus? Lagipula kepala desa juga sudah membawa perkara ini ke jalur hukum,” ungkapnya.

Di luar dugaan, Bakhtiar kembali membikin laporan polisi. Kali itu ia melaporkan Isma ke Polres Aceh Utara di Lhoksukon. Bakhtiar merasa Isma mencemarkan namanya karena telah mengunggah video pertengkarannya ke media sosial Facebook pada 1 Maret 2020.

***

Sejak pelaporan itu, ruang gerak Isma terbatas. Ia harus menghadapi proses pemeriksaan di kepolisian, hingga persidangan di Pengadilan Negeri Lhoksukon sejak Senin, 9 November 2020.

Isma dan keluarganya harus menempuh jarak lebih dari 20 kilometer dari desanya di kawasan pesisir Seunuddon menuju Lhoksukon. Tak sekalipun Isma absen dari persidangan. Sebab sejak awal dirinya berkomitmen untuk bersikap kooperatif sekalipun tanpa didampingi pengacara. “Saya ingin mempertahankan posisi saya yang tidak bersalah,” ujarnya yang belakangan mendapat bantuan hukum dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh.

Persidangan yang panjang dan berulang tidak saja membuat Isma mengalami kerugian dalam hal waktu dan material. Adakalanya ia menyewa mobil agar anggota keluarganya bisa hadir ke persidangan. Ada kalanya hanya Isma dan suami saja yang pergi agar bisa menghemat biaya.

Puncak dari proses melelahkan itu ialah saat kandungannya bermasalah. “Saat hamil saya sempat mengalami kontraksi parah. Makanya sebelum waktu melahirkan tiba, saya sudah harus dioperasi,” kata Isma seraya menambahkan kalau bayinya yang kini telah berusia dua tahun lebih lahir secara prematur.

Senin, 8 Februari 2021, Isma divonis bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE. Lepas 11 hari setelah putusan, Isma dieksekusi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Aceh Utara ke LP Lhoksukon. Ia terpaksa membawa bayinya yang saat itu baru berusia 6 bulan. Mereka tinggal di sel berpenghuni mencapai 14 orang. Saking sesaknya, kata Isma, ia tidur di depan kamar mandi.

“Tapi setelah satu minggu saya di lapas, didatangi oleh Haji Uma (Sudirman—anggota DPD RI asal Aceh). Saat itu Haji Uma bilang, inilah salah satu contoh yang membuat Aceh malu karena masalah sangat kecil yang seharusnya bisa diselesaikan di tingkat kampung. Mengapa harus sampai ke LP,” ungkap Haji Uma seperti diceritakan Isma.

Tak lama setelah kunjungan tersebut, Isma pun dibebaskan. Ia bebas setelah mendapat asimilasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Sebab saat itu Isma sudah menjalani separuh dari masa tahanannya.

Hari ini, 15 Maret 2023, tepat dua tahun Isma lepas dari kurungan penjara. Ia merasa jauh lebih baik. Bayi yang dulu masih berusia 6 bulan kini sudah berusia 2 tahun lebih. Isma berharap, peristiwa serupa tidak terulang menimpa orang lain. “Apalagi karena persoalan kecil,” ungkapnya sembari meratapi persoalan sengketa tanah yang tak kunjung selesai.

 

Penulis: Ihan Nurdin, Kontributor Jaring.id di Aceh

Penyunting: Damar Fery Ardiyan

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Keputusan Bebas yang Menyisakan Takut
Perjanjian Gadai Mentah di Hadapan UU ITE
Dipenjara Kala Bersuara Antirasisme
Dari Jari ke Jeruji
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!