Sampai Dua Kali Menjadi Korban

Vivi Nathalia merasakan betul bagaimana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengaburkan kedudukannya sebagai korban dalam persoalan utang piutang.

Pada 23 Oktober 2018 silam, Vivi dilaporkan ke polisi oleh iparnya yang bernama Tatang Surja. Ia dianggap melanggar Pasal 27 ayat 3 (defamasi) UU ITE karena diduga mencemarkan nama baik Tatang di media sosial. Empat bulan berselang, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhi hukuman 1 tahun pidana dengan masa percobaan selama 2 tahun kepada Vivi.

“Memerintahkan tindak pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama dua tahun,” begitu amar putusan hakim.

Vonis itu lalu diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 19 Mei 2020. “Semua tulisanku di media sosial dari Whatsapp hingga Facebook dikumpulkan sebagai bukti tindak pidana pencemaran nama baik. Aku sungguh bingung, mengapa menagih utang justru dikriminalisasi?” kata Vivi.

Sejak keputusan itu, sampai Agustus 2022 ini, Vivi sudah menuntaskan hukuman percobaan selama 2 tahun pada 13 Februari 2022 lalu.

***

Kasus pencemaran nama yang menjerat Vivi berpangkal utang piutang pada 2015. Saat itu, Tatang meminjam uang kepada adiknya yang juga suami Vivi, Andy Surja. Total pinjaman sebesar Rp 450 juta. “Kami meminjamkan uang kepadanya secara bertahap selama 2015-2016,” ujar Vivi.

Jauh sebelum dilaporkan oleh sang ipar, Vivi mengaku sudah menagih utang secara baik-baik. Tapi karena tidak ada itikad baik dari sang kakak, Vivi meluapkan perselisihan dengan iparnya itu di Facebook dan Whatsapp Group (WAG), termasuk pada kolom komentar toko online milik Tatang. Salah satunya menyinggung penyakit polio yang diderita Tatang. Meski Vivi mengaku geram, tapi saat itu, tidak ada maksud Vivi untuk mengumbar aib iparnya. Amarahnya terpantik kegiatan kakaknya yang tengah beranjangsana ke luar negeri.

“Cara saya menagih utang mungkin dipandang berlebihan karena memakai media sosial. Tapi, apakah ada orang yang membiarkan pengutang membawa ratusan juta Rupiah hasil jerih payah bekerja saat tidak ada kepastian kapan uang kembali?” ungkapnya.

Bagi Vivi, jumlah uang yang dipinjamkan ke Tatang tidak kecil. Terlewat besar bahkan bila tidak dikembalikan. Menurutnya, uang yang dipinjamkan ke Tatang merupakan hasil dari jerih payah Vivi dan keluarganya selama bertahun-tahun.

Vivi bekerja sebagai pianis. Ia juga seorang guru piano yang telaten. Ada jadwal rutin yang mengharuskannya mengajari puluhan anak tentang anatomi sebuah piano, sembari melagukan “Bohemian Rhapsody” yang rumit maupun membawakan “Carol of The Bells.” Diakui Vivi, profesinya sebagai pianis sangat menunjang kegiatannya di dunia hiburan. Mulai dari pemandu acara berbahasa Mandarin, penyanyi hingga model. Beberapa desainer—sebut saja Ratna Soedarno, Yudistira hingga Anne Avantie—pernah mengajak Vivi untuk bekerjasama. “Orang bilang, aku bekerja sangat keras. Mengajari piano, memandu acara hingga menyanyi. Ya, aku menikmati semua pekerjaan, sehingga letih dan lelah terkadang tak terasa,” cerita Vivi.

Tapi persoalan hukum yang membekapnya beberapa tahun lalu mengubah segala hal. Situasi yang dialami Vivi saat itu tak ubahnya ungkapan sudah jatuh tertimpa tangga. Di tengah persoalan utang yang belum terbayarkan, Vivi malah harus menghadapi persoalan hukum. “Saya dan suami juga jadi terlapor dengan kasus lain di kantor polisi yang berbeda-beda. Jumlahnya ada sembilan laporan polisi dengan semua kasus itu ancaman hukuman 20 tahun penjara,” ujarnya.

Karenanya dalam proses pemeriksaan, Vivi sempat disarankan untuk berdamai dengan kakak iparnya. “Namun maksud perdamaian di sini sebenarnya merugikanku,” kata dia. Bagaimana tidak? Alih-alih memberi jalan keluar, perdamaian itu justru menghimpit Vivi dalam situasi yang makin sulit. Selain diminta menyiapkan mahar perdamaian sebesar Rp 2 miliar, Vivi juga mesti melupakan utang sebesar Rp 450 juta. Kalau tidak, maka dirinya harus bersiap menghadapi ancaman penjara. “Ini sungguh tidak adil. Orang yang mengutangi justru membayar kepada pengutang senilai lima kali lipat,” tambahnya.

Proses hukum yang menimpa Vivi saat itu diakui sebagai titik terendah dari hidupnya. Kesedihan Vivi pun menjalar ke keluarga. Mertuanya, ibu dari pelapor, terpukul dan stres berat. Ia tidak habis pikir anaknya melaporkan adik iparnya sendiri yang selama ini sudah sangat baik membantu. Suami Vivi pun stres dan sempat mengalami vertigo.

Pelbagai pengalaman traumatis tersebut terlihat dalam selembar kertas pledoi (nota pembelaan) yang sempat ia bacakan di hadapan hakim tahun lalu. Selain meminta hakim membebaskannya dari segala tuntutan, Vivi juga menghendaki agar majelis memisahkannya dari suami. Ia merasa tidak lagi kuat untuk melihat wajah suami yang selalu mengingatkannya pada sosok Tatang.

“Sekarang sudah tidak ada keinginan (cerai). Itu emosi saja karena aku merasa hidup di keluarga suami kok ada saja masalah. Waktu itu aku juga trauma dengan wajah suami, karena sangat mirip sama kakak ipar yang melaporkan,” jelas Vivi.

Vivi sudah menata kembali hidupnya. Ia mencoba melupakan segala hal yang dapat mengingatkannya pada pengalaman buruk menghadapi persoalan hukum, termasuk rumah lamanya. Vivi pindah ke sebuah rumah kontrakkan pada akhir Maret dua tahun lalu. Kedua anaknya pun turut senang dengan keputusan Vivi. Bahkan, menurutnya, pandemi Covid-19 seakan membawa berkah bagi keluarganya. Sebab sebagian besar waktu ia habiskan bersama kedua anaknya di rumah. Mulai dari bermain, belajar, sampai mengolah adonan kue sebelum menjualnya ke pelanggan pun dilakukan bersama. “Rasanya seperti dilahirkan kembali. Rasanya aku tidak pantas menyesali masa lalu terus-terusan. Dan atas semua itu, aku ucapkan terima kasih Tuhan Yesus,” tutupnya.

 

Kronologi kasus

  • Tatang Surja melaporkan Vivi pada 23 Oktober 2018
  • Pokok perkara Pasal 27 ayat 3 (defamasi) UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  • Perkara teregistrasi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 16 Mei 2019
  • PN Jakarta Barat memutus perkara 882/Pid.Sus/2019/PN.Jkt.Brt dengan pidana 1 tahun, tapi Vivi tidak perlu mendekam di penjara pada 13 Februari 2020
  • Majelis Hakim memutuskan Vivi menjalani masa percobaan 2 tahun
  • PN Jakarta Barat pada 19 Mei 2020 menguatkan putusan dengan Nomor 147/PID.SUS/2020/PT.DKI. Sementara kasasi yang diajukan Vivi ditolak
  • Vivi mengakhiri masa percobaan 2 tahun pada 13 Februari 2022

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Buntut Panjang Kriminalisasi Sadli
Sampai 2,5 Tahun Kasus Menggantung
Penahanan 33 Jam dan Peretasan yang Tak Terungkap
Di Ujung Laporan Ada Dugaan Pemerasan
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!