Yang Ditangkap Siarkan Pungli

Nama lengkapnya Benni Eduward. Ia memiliki akun Youtube yang diberi nama sesuai namanya, Benni Eduward. Sejak 9 April 2014 lalu, tak kurang dari 300 video telah diunggah Benni lewat situs berbagi video tersebut. Sebagian besar konten menyoroti dugaan pungutan liat (pungli) yang dilakukan polisi maupun petugas Dinas Perhubungan.

Tapi sejak tahun lalu para pelanggan (subscriber) yang jumlahnya hampir 700 ribu orang tak lagi dapat mengakses video yang diambil Benni. Ia memilih untuk membatasi kunjungan karena trauma masuk penjara. “Ada beberapa yang unpublic. Jadi orang lain tidak bisa lihat. Saya masih dibayang-bayangi karena katanya masih ada 6 laporan,” ungkap Benni melalui pesan singkat kepada Jaring.id, Selasa, 12 April 2022.

Kasus hukum yang membelit Benni bermula sejak ia bersama Joniar Nainggolan mencari konten terkait tunggakan pajak kendaraan bermotor. Saat itu, Joniar menduga sebuah mobil bernomor polisi BK 1212 JG yang terparkir di Samsat Putri Hijau Medan pada Selasa, 11 Agustus 2020 menunggak pajak, meski Benni tak sependapat. Tuduhan itu kemudian dikonfirmasi melalui fitur e-samsat dan layanan data kendaraan atau Unstructured Supplementary Service Data (USSD) bagi pengguna Telkomsel. Rekaman video itu kemudian diunggah Joniar ke Youtube Joniar News Pekan dengan judul “Viralkan!!! Sidak di Samsat Poldasu banyak oknum diduga gunakan plat bodong.” “Yang nonton banyak,” ujar Benni.

Hingga 26 April 2022, rekaman itu ditonton 16.909 kali, 263 komentar, dan mendapatkan 684 tanda suka. Tidak sedikit dari penonton yang mengapresiasi sekaligus mempertanyakan perilaku buruk polisi melalui kolom komentar. Salah satunya ditulis oleh pemilik akun bernama Nugroho Best. “Hidup polri!!!bersihkan lembaga Kepolisian dari oknum yang merusak citra polri. Terima kasih bang Ben dan bang joniar atas edukasinya ke masyarakat Indonesia,” tulisnya setahun lalu.

Namun sehari berselang, apresiasi yang dilontarkan masyarakat tersebut berubah masam bagi Benni. Ia dilaporkan menggunakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ia dianggap mencemarkan nama baik lewat Youtube. Ia tak sendiri, Joniar juga disangka melakukan pelanggaran yang sama.

Tak sampai seminggu, Selasa, 18 Agustus 2020, Benni ditangkap berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor SP.Kap/725/VII/RES/2.5/2020/Reskrim oleh enam polisi di kedai Coffeenatics, Jalan Cik Ditiro, Medan, Sumatera Utara sekitar Pukul 10.30 WIB. “Saya kaget. Handphone langsung disita,” kata Benni kepada Jaring.id, Senin, 4 April 2022. Pihak polisi hanya menunjukkan secarik kertas tanpa menjelaskan alasan di balik penangkapan tersebut. Ia digelandang ke Polresta Medan menggunakan mobil. Benni diapit dua orang polisi sepanjang perjalanan. “Mereka (polisi) selalu bilang ada laporan. Tapi saya tidak tahu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa,” ia menambahkan.

Hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai di Polresta Medan. Tapi dini hari itu Benni dibiarkan menunggu hingga 10 jam. Selama itu pula para polisi dari satuan lalu lintas hilir mudik menemuinya. “Di kantor polisi saya baru tahu bahwa pelapornya polisi,” ujarnya. Salah seorang perwira polisi bahkan sempat mengancamnya dengan hukuman pidana selama 16 tahun. “Saya diintimidasi. Bahkan ada ancaman bilang ke saya akan ada tentara yang mau habisi dengan bayaran Rp 10 juta,” ungkap Benni.

Mendengar ancaman itu Benni ternanap. Sampai ia merasakan sendiri bagaimana berhadapan dengan penyidik, pegawai swasta ini tak pernah menyangka konten yang ia buat bisa membawanya berurusan dengan hukum. Hanya saja, menurut Benni, ia tak pernah ditanya ihwal kasusnya selama proses pemeriksaan. Berita acara pemeriksaan (BAP) yang ia tandatangani hampir persis sama dengan BAP yang menjerat rekannya, Joniar. Hanya nama saja yang diganti. “Dalam kondisi mental diintimidasi, capai, mengantuk, saya tanda tangan,” ujar Benni.

Tak sampai 1×24 jam, pada 19 Agustus sekitar pukul 02.30 WIB, Benni langsung ditetapkan sebagai tersangka. Ia ditahan berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor SP. Han/439/VIII/RES 2.5/2020/Reskrim. Surat tersebut berisikan perintah penahanan di Rumah Tahanan Polresta selama 20 hari hingga 7 September 2022. Kata Benni, terdapat 7 blok sel di tahanan itu. “Saya ditempatkan di Blok D. Rekan saya di Blok C. Kami dipisah,” kata Benni.

Selama berada di tahanan, Benni mengaku tidak diperlakukan dengan baik. Tak jarang ia mengalami tindak kekerasan, intimidasi, dan pemerasan. “Saya habis-habisan. Dipukuli, disiksa, diperas,” ujar dia. Tak sampai di situ, Benni juga kesulitan untuk berkomunikasi dengan istrinya. Kunjungan tatap muka pun tidak diperkenankan dengan alasan pandemi Covid-19. “Saya sama sekali tidak berkomunikasi,” ungkapnya.

Tak sampai satu bulan, istri Benni, Fitra Aria melaporkan dugaan tindak kekerasan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 20 Agustus 2022. Isi aduan yang disampaikan berkaitan dengan praktik penangkapan yang tidak sesuai prosedur berdasarkan Pasal 18 ayat 3 dan Pasal 21 ayat 3 Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP). Belied tersebut mengatur bahwa setiap penangkapan dan penahanan harus melayangkan pemberitahuan kepada keluarga. “Surat penangkapan tidak diserahkan kepada pihak keluarga. Saya juga keberatan karena selama ditahan saya menduga adanya intimidasi,” kata Fitra dalam suratnya.

Surat tersebut kemudian ditindaklanjuti Komnas HAM dengan mengirimkan surat Nomor 1.056/K-PMT/IX/2020 tentang permintaan keterangan atas penangkapan Benni Eduward oleh pihak kepolisian. Dalam surat tersebut, Komnas HAM meminta agar polisi memastikan hak tersangka, diantaranya akses bantuan hukum dan pemeriksaan tersangka tidak dilakukan dengan intimidatif, serta tidak merendahkan martabat manusia sebagai standar pemenuhan hak asasi manusia. Komnas HAM juga meminta polisi agar mempertimbangkan penanganan kasus dengan pendekatan restorative justice.

“Semestinya konten pembayaran pajak tersebut dijadikan sebagai otokritik membangun. UU ITE tidak menjadi alat untuk pembatasan dan pengekangan kebebasan berekspresi dan berpendapat termasuk melalui media sosial,” ujar Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam dalam rilis, Jumat, 20 September 2020.

Lantaran tak ada tanggapan dari Kepolisian, keluarga Benni kembali mengadukan perkara tersebut ke Komnas HAM pada 2 Maret 2020 terkait pemerasan dan kekerasan. Komnas HAM menindaklanjuti dengan mengeluarkan surat Nomor 1.111/K-PMT/X/2020 pada 8 Oktober 2020. Dalam surat tersebut Komnas HAM meminta agar Markas Besar Polri, Kapolda Sumut, dan Propam Polri untuk memberikan perlindungan baik fisik dan psikologi, segera melakukan penyelidikan atas peristiwa Benni, dan mempertimbangkan mengubah tempat penahanan yang lebih aman dari tindakan kekerasan, intimidasi, dan permintaan uang.

Fitra juga melaporkan kasus suaminya ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan Sumatera Utara pada 22 Oktober 2020. Dalam surat aduan itu, Fitra menyampaikan adanya tindakan kekerasan, intimidasi, dan permintaan uang. Dari surat tersebut, ORI kemudian mendatangi Polresta untuk memastikan kondisi Benni. Benni lantas diminta bertemu beberapa perwakilan ORI dan pimpinan polisi. Dalam pertemuan itu, Benni menjelaskan kondisi yang dialaminya. Benni juga meminta agar masa penahanannya ditangguhkan. “Dua bulan setengah akhirnya saya diselamatkan ORI Perwakilan Sumut,” ujarnya.

Tapi permintaan Benni tak begitu saja dikabuli polisi. Menurutnya, dalam proses mediasi polisi mengajukan tiga syarat. Pertama, Benni diminta merekam permohonan maaf, menuliskan surat permohonan maaf dan pengampunan kepada korban, dan menghapus video-video terkait dengan polisi. “Kami ikuti. Kami dalam kondisi tertekan karena tidak ada pilihan. Tapi hasilnya tidak ada sama sekali. Semua sia-sia,” jelasnya.

Benni tetap ditahan selama 20 hari. Dan setelah berkas dinyatakan lengkap, Benni menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Kota Medan mulai Januari 2021. Selama proses persidangan tersebut ia mencoba menyampaikan semua yang dialami. Mulai dari penangkapan sampai masa penahanan. Tapi majelis hakim saat itu bergeming. Berdasarkan Putusan Nomor 3564/Pud.Sus/2020/PN Mdn pada 29 April 2021, Benni dijatuhi pidana 8 bulan penjara. “Otomatis saya kehilangan pekerjaan,” ungkap Benni.

Empat bulan berselang, tepatnya pada pada 21 April 2021 Benni dinyatakan bebas. Namun keluarnya Benni dari tahanan tak lantas mengembalikan kebebasannya sebagai warga negara. Tak jarang ia menerima stigma sebagai pelaku kriminal. Kondisi itu yang mengakibatkannya sulit mencari pekerjaan. Butuh waktu setengah tahun bagi Benni untuk bisa kembali menafkahi anak dan istrinya. “Keluar April tidak ada kegiatan. Bulan Oktober 2021 kemarin baru dapat kerjaan,” ucapnya.

Kamis lalu, 21 April 2022, genap setahun Benni bebas. Tapi ia masih ingat betapa menakutkannya berurusan dengan UU ITE. “Kemerdekaan dirampas, dipisahkan secara paksa dari keluarga dan harus kehilangan pekerja. Diperas dalam kondisi di dalam keluarga susah. Ini membungkam kebebasan berpendapat. Harapan saya UU ITE ini dihapus agar tidak ada lagi korban setelah saya,” harap Benni. (Abdus Somad)

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Kisruh Organisasi Hingga Pencemaran Nama Presiden
Saat ITE Mengaburkan Kekerasan Seksual
Dari Saksi Menjadi Terlapor
Aktivis PRP Ditangkapi Tanpa Bukti
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!