Keputusan Bebas yang Menyisakan Takut

Tubuh Muhammad Arsyad, 35 tahun, sesaat membeku. Pikirannya melayang ke peristiwa 7 tahun lalu di tengah sidang kasus pailit sebuah perusahaan beberapa bulan lalu. “Saya duduk lagi di kursi terdakwa. Darah dari atas langsung turun. Lemas. Teman saya sampai harus memberi kode. Baru saya sadar. Traumatis pada kursi terdakwa masih ada. Masih terbayang. Susah sekali menghilangkan trauma,” kata Arsyad mengingat kasus yang sempat menjeratnya pada Agustus 2013. 

Arsyad saat itu dituntut 7 bulan penjara lantaran dianggap melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Elektronik (UU ITE). Sebelum divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan pada 28 Mei 2014, pria yang kini berkarir sebagai advokat ini sempat ditahan selama 100 hari dalam ruang berjeruji seluas 6×3 meter. Mula-mula ia ditahan di Rutan Polda Sulawesi Barat selama 7 hari, sisanya mendekam di Rutan Klas I Makassar bersama puluhan orang lain. Dari balik jeruji penjara, hampir semua orang ngeri terhadap hawa panas siang hari, tapi yang tidak Arsyad perkirakan ialah udara dingin. “Malam tidur di tikar. Dingin sekali meski di dalam banyak orang,” ujarnya. 

Sampai saat ini, Arsyad tak habis pikir dengan alasan penahanan selama 100 hari terhadap dirinya. Mengapa aparat negara menyia-nyiakan waktu, tenaga dan pikiran menahan pengkritik? Mengapa harus masuk penjara untuk kesalahan yang tidak diperbuat? Mengapa tidak ada mekanisme lain untuk penanganan kasus pencemaran nama baik? Sederet pertanyaan ini yang bergelayut di benak Arsyad sejak bebas. “Tidak mudah memaafkan masa lalu, apalagi melupakan begitu saja 100 hari dalam penjara bagi orang tidak bersalah,” ungkapnya. 

Kasus hukum yang menjerat Arsyad bermula dari laporan Abdul Wahab Tahir, salah seorang anggota DPRD Kota Makassar dari Fraksi Golkar. Anggota tim sukses bidang hukum pasangan Supomo Guntur-Kadir Halid (SUKA) dalam pemilihan walikota Makassar 2013 ini melaporkan status Blackberry Messenger (BBM) yang diunggah Arsyad, antara lain berbunyi: “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!” kepada polisi. 

Saat itu, Abdul dapat melaporkan seseorang karena masih berlaku klausul delik umum untuk menggunakan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik. Singkatnya pelapor pencemaran nama baik bisa siapa saja, tidak harus orang yang dirugikan nama baiknya secara langsung. Pelapor hanya perlu cari bukti permulaan. Dalam kasus ini, pelapor menggunakan tangkapan layar BBM Arsyad sebagai bukti. Bukti ini didapatkan pelapor dari salah seorang kontak yang terdaftar dalam kontak BBM Arsyad. 

“Saya tanya kepada teman, mengapa memberikan bukti ke pelapor? Ia menjawab ‘emang tugasnya memata-matai.’ Saat mendengar pengakuan teman itu saya langsung lemas, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa,” kenang Arsyad. 

Arsyad menceritakan ihwal status BBM yang dilayangkannya saat itu tak lebih dari respon tidak puas kader terhadap keputusan Partai Golkar. Menurutnya, keputusan partai tidak berintegritas karena telah mengabaikan rekam jejak Kadir Halid yang merupakan adik dari Nurdin Halid, mantan terpidana kasus korupsi distribusi minyak goreng Badan Urusan Logistik (Bulog). 

Kiranya mendapat rapsodi atas sikap antikorupsinya, Arsyad justru mendapat perlakuan sebaliknya. Tak jarang ia mendapat intimidasi dan masih terpatri dengan jelas bagaimana ia dikeroyok sejumlah orang dalam sebuah siaran televisi lokal di Makassar. Ibarat maju jurang, mundur jungkrang, kasus kekerasan ini yang kemudian menghadapkannya pada situasi serba salah. “Saya diminta cabut laporan pengeroyokan, tapi saya tidak mau. Makanya kasus saya berlanjut dan saya jadi tersangka pencemaran nama baik,” kata Arsyad.

Maka pada pagi hari sebelum menjalani masa sidang pertama pada 13 Maret 2014, dengan tenang Arsyad pamit kepada orang tua. Orang tuanya sempat khawatir dan ingin menemani, tetapi ia meyakinkan orang tuanya bahwa semuanya baik-baik saja. Dengan tas berisis pakaian, Arsyad menuju Kejaksaan Negeri Makassar seorang diri dengan mengendarai sepeda motor. Di sana ia sudah ditunggu dua kerabat. Pertama ialah relawan dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) di Makassar. Namanya Ipul. Arsyad memanggilnya Daeng Ipul. “Saya makan bakso dengan Daeng Ipul. Enak sekali baksonya,” ungkapnya.  

Sementara yang kedua ialah salah seorang pejabat Kejari yang kebetulan seniornya di kampus. Dalam pertemuan tersebut, pejabat itu sempat berujar akan membantu Arsyad mengindari penahanan. Namun pada sore hari setelah Arsyad menyantap semangkuk bakso, pejabat itu bilang bahwa penahanan selama masa sidang tak terhindarkan. “Itu bakso terakhir sebelum saya masuk tahanan lagi dalam waktu lebih lama,” ujar Arsyad. 

Arsyad tercatat sebagai tahanan Kejari Makassar sejak 25 Februari 2014 lalu. Tiga bulan berselang, tepatnya pada 28 Mei 2014 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar memvonis bebas. Bukti tangkapan layar BBM rupanya tidak cukup bagi hakim untuk memenjarakan Arsyad. Hakim menilai bukti dalam secarik kertas tersebut tidak sah. Lalu jaksa mengajukan kasasi atas putusan bebas PN Makassar, tetapi Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi tersebut pada 29 Desember 2015. 

Selama dalam masa penahanan, Arsyad mengaku sempat mendapat kunjungan dari seorang pejabat tinggi Kepolisian di daerah. Arsyad merasa aneh mengingat dirinya bukan siapa-siapa. Ia cuma mahasiswa, seorang aktivis muda dan anak kemarin sore dalam partai yang besar. Bahkan, menurutnya, petugas tahanan pun sempat geleng-geleng kepala karena sebelumnya tak pernah ada tahanan yang dibesuk oleh perwira tinggi.  

“Sembari menepuk pundak saya, pejabat itu berucap ‘kamu sabar-sabar saja.’ Seperti melihat sebuah cahaya yang terang, saya langsung sadar bahwa yang diomongkan orang ada benarnya. Saya ini tumbal politik. UU ITE dipakai untuk membungkam kebebasan berpendapat saya. Saya sadar diminta sabar di dalam penjara karena mungkin tidak akan lama, tetapi tetap saja bagi saya sehari dalam penjara itu rasanya seperti setahun,” ungkapnya.   

Di tengah rasa frustasi yang membayangi keluarga, orang tua Arsyad terpaksa menjual rumah satu-satunya. Dengan uang penjualan rumah tersebut, mereka pindah dari Makassar ke daerah di pinggiran Gowa. Belakangan Arsyad baru tahu alasan kedua orang tuanya menjual rumah. Mereka takut dan berusaha menghindari konflik yang mungkin terjadi setelah penangkapannya. “Saya baru tahu setelah dua hari bebas dari penahanan,” ucapnya.  

Seperti orang tuanya yang pindah dari Makassar, Arsyad kini menjalani kehidupan kedua di DKI Jakarta. Di samping bekerja sebagai salah satu staf anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Arsyad berprofesi sebagai advokat. Profesi itu dipilih karena ia hendak membayar waktu yang sempat hilang kepada kemanusiaan, kepada orang yang membantunya tanpa pamrih selama dibui dan kepada para korban UU ITE. 

“Saya pernah nazar ingin jadi advokat untuk membantu korban. Saya berusaha menepatinya. Entah sampai kapan jadi advokat bagi teman-teman korban UU ITE. Mungkin sampai pasal karet dalam UU ITE ini dicabut,” ujar Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) ini.

Berdasarkan catatan Amnesty International, sepanjang Januari-April 2021 saja sudah terdapat 15 kasus pelanggaran atas hak berekspresi menggunakan UU ITE dengan jumlah korban sebanyak 18 orang. 

Menurut Arsyad, jerat UU ITE akan merampas apa saja. Pekerjaan, keluarga dan harta adalah sedikit dari akibat yang ditimbulkan UU ini. Dan yang menjadi malapetaka, kata Arsyad, ialah saat UU ini berhasil menyemai ketakutan kepada orang yang hendak berpendapat. “Kalau menulis status, saya baca dulu dua sampai tiga kali agar tidak memuat unsur pencemaran nama baik. Masih ada ketakutan dan trauma dipenjara,” ungkapnya. (Zakki Amali)

 

Kronologi Kasus Muhammad Arsyad

  • Bukti kasus berupa tangkapan layar status Blackberry Messenger (BBM), antara lain berbunyi: “No Fear Nurdin Halid Koruptor!!! Jangan pilih adik koruptor!!!”
  • Dilaporkan oleh Abdul Wahab Tahir, anggota DPRD Kota Makassar, kader Golkar, anggota tim sukses bidang hukum Supomo Guntur-Kadir Halid (SUKA) dalam Pilwalkot Makassar 2013.
  • Arsyad ditetapkan jadi tersangka oleh polisi pada 13 Agustus 2013.
  • Polisi menahan selama 7 hari sejak 9 September 2013 di Rutan Polda Sulawesi Barat.
  • Dalam masa sidang, Arsyad ditahan 93 hari di Rutan Klas I Makassar.
  • Jaksa menuntut 7 bulan penjara.
  • 28 Mei 2014 hakim Pengadilan Negeri Makassar memvonis bebas Arsyad.
  • Jaksa mengajukan kasasi atas putusan bebas PN Makassar, tetapi majelis hakim Mahkamah Agung menolak kasasi jaksa pada 29 Desember 2015. Arsyad bebas dari jerat pidana UU ITE sampai sekarang.

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Dipenjara Kala Bersuara Antirasisme
Sampai 2,5 Tahun Kasus Menggantung
Saat Ahli Pidana Dijerat Pidana
Guyon yang Berbuntut Panjang
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!