Sepotong Pesan Whatsapp atas Nama Saidah

Saidah mengikuti proses penyerahan kasus dari kepolisian ke kejaksaan_ (Foto: Arsip Pribadi)

Nama lengkapnya Saidah Saleh Syamlan. Perempuan keturunan Arab ini lahir di Jakarta 50 tahun silam. Bersama Aziz Hamdan, Saidah dikaruniai dua putri, yakni Zafira dan Ufairah. Selain mengurus rumah tangga, Saidah memiliki usaha konveksi rumahan “Fifa Embroidery” dengan 25 pekerja. Sementara suaminya sejak 2016 tercatat sebagai pensiunan dari PT Pismatex Textile Industri—salah satu raksasa tekstil Indonesia. 

Masa pensiun sejatinya menjadi momen bahagia bagi pekerja untuk menikmati masa tua. Tapi bagi Aziz dan Saidah tidak begitu. Mereka mengubur sejenak rencana untuk bersantai bersama cucu pertama dari putri sulungnya yang kini tinggal di Madinah, Arab Saudi. Sebab keluarga ini harus menghadapi masalah yang tidak pernah terbayang sebelumnya, yakni pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 ayat 3 (defamasi) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pelapornya adalah kuasa hukum dari PT Pisma Putra Textile, anak usaha Pismatex—perusahaan tempat suaminya bekerja.

Kasus ini bermula pada Sabtu sore, 24 September 2017. Sebuah mobil berhenti persis di halaman rumah Saidah yang terletak di Kelurahan Perak Barat, Kecamatan Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur. Dari dalam mobil keluar empat orang laki-laki yang belakangan diketahui berasal dari Kepolisian Daerah Jawa Timur. Mereka menyerahkan surat panggilan pemeriksaan kepada Saidah. “Laporan ini berdasarkan apa?” tanya Saidah saat itu kepada polisi. 

Rupanya Saidah dilaporkan oleh salah seorang pengacara PT Pisma Putra Textile. Pihak perusahaan menduga Saidah mencemarkan nama baik perusahaan lewat pesan Whatsapp pada 11 Juli 2017 silam. Pada titik itu Saidah tidak bisa tidak bingung. Sebab seingatnya, nomor telepon yang tertera pada surat panggilan sudah hangus alis nonaktif sebelum tanggal yang disebutkan polisi. 

Namun saat itu polisi tidak mencari penjelasan Saidah. Mereka hendak menyita telepon genggam Saidah sebagai barang bukti. Saidah tentu berkeras menolak permintaan tersebut. Sembari meyakinkan bahwa telepon dan nomornya sudah mati, Saidah mempertanyakan surat penyitaan. Yang diminta tidak dapat menunjukkan surat penyitaan, sehingga hanya mengambil foto telepon genggam baru Saidah dan mencatat nomor identitas khusus setiap telepon (IMEI). 

Setelah surat panggilan tersebut, hidup keluarga Saidah tak lagi tenang. Terlebih ketika polisi menggeledah rumah dan menjemput para pekerjanya dari kamar kost untuk diperiksa perihal kasus yang menimpa Saidah. Pemeriksaan dan penggeledahan tersebut, menurut Saidah, berimbas pada usahanya. Dari puluhan orang yang bekerja untuk Saidah, tersisa hanya lima pekerja saat ini. “Lumayan berpengaruh karena lawan saya orang besar,” kata Saidah dalam wawancara lewat telepon pada Februari 2021.

Saidah ditetapkan tersangka pada Februari 2018. Ia resmi menyandang status tersebut berdasar selembar kertas berisi kalimat berbahasa Jawa Timur-an yang tertera dalam pesan Whatsapp bernomor 08135780800:

“bozz… piye iku pisma kok tambah ga karu2an ngono siih.”

“Kmrn mitra tenun 100% stop total.. aku di tlp ni mereka”,

“PPT stop juga… ga ono fiber piye paaak”,

“Posisi saiki mitra podo kosong… ppt praktis total mandeg greg.. Yo opo pakk.”

Pesan ditujukan kepada Kepala Divisi Bank Exim Indonesia Komaruzzan dan Amerita General Manager Bank Negara Indonesia (BNI) Pusat pada 26 Juni 2017. Karena merasa nama baiknya tercemar, perusahaan melapor ke polisi. Mereka juga menilai pesan Whatsapp tersebut mengakibatkan perusahaannya gagal mengajukan pinjaman bank.

Dalam penyidikan, polisi menemukan nomor itu didaftarkan atas nama Saidah Siti Syamlan. Meski sang suami, pernah bekerja sebagai Direktur Keuangan PT Prisma, Saidah mengaku tidak pernah mengirim pesan tersebut. Nomor yang dipermasalahkan pun sudah lama tidak aktif dan tak lagi dapat digunakan. “Orang Telkomsel sendiri yang bersaksi di sidang saat itu,” kata Saidah.

Pelapor bergeming. Dalam sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, hakim menjatuhkan vonis 10 bulan penjara dan denda Rp 5 juta subsider 1 bulan kurungan karena melanggar Pasal 27 ayat (3) juncto pasal 45 ayat (3) ITE tentang pencemaran nama baik. Tak puas dengan putusan hakim, jaksa kemudian mengajukan banding. Saidah lebih tidak puas, sehingga mengambil keputusan serupa. 

Pada 5 Agustus 2019, Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya, Arifin Edy Suryanto membebaskan Saidah dan menganulir putusan PN Surabaya. Pengadilan Tinggi Surabaya juga memerintahkan agar kemampuan, kedudukan, kehormatan Saidah Saleh Syamlan dipulihkan. Majelis menilai pesan Whatsapp yang dianggap mencemarkan nama baik perusahaan bukan berasal dari Saidah. 

Dalam keputusannya, pengadilan tinggi menemukan tiga kejanggalan dalam putusan PN Surabaya. Pertama terkait pelapor. Hakim Arifin menyatakan bahwa pasal pencemaran harus dilaporkan oleh orang yang dirugikan. Ini sesuai dengan Pasal 310-311 KUHP. Sementara dalam kasus Saidah, aduan dilaporkan oleh kuasa hukum PT Pisma Putra Textile. Menurut Hakim, pasal ini adalah delik aduan absolut, sehingga harus memenuhi unsur di muka publik, dan merupakan persoalan antarpribadi, bukan pribadi vis a vis perusahaan yang merupakan badan usaha.

Kedua, tidak ada pengujian forensik terhadap seluruh telepon genggam saksi penerima pesan Whatsapp hingga telepon pengirim. Tanpa uji foreksik, menurut hakim, tidak ada kepastian mengenai asal usul pesan yang diduga dilayangkan Saidah. Di samping itu, para hakim menyoroti bukti berupa tangkapan layar dan keterangan provider telepon yang menunjukkan bahwa nomor tersebut digunakan atas nama Saidah. 

Dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung RI terkait petunjuk teknis penanganan tindak pidana ITE dijelaskan bahwa sebelum informasi atau dokumen elektronik dijadikan alat bukti, harus dimintakan keterangan ahli dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sedangkan dalam kasus Saidah, saksi ahli ITE yang dihadirkan merupakan petugas Kominfo daerah Surabaya. 

“Saya melawan orang besar, dan saya tidak pernah tahu siapa saja mereka. Justru sebaliknya mereka tahu banyak tentang kita. Harus hati-hati dalam segala hal,” begitu pelajaran mahal dari Saidah.

Tapi rupanya jaksa tak patah arang. Pada 2020, jaksa memilih kasasi terhadap keputusan pengadilan tinggi. Namun hingga tahun ini, kasasi tersebut belum rampung. “Saya tidak tahu apakah saya akan dipenjara atau tidak,” ungkap Saidah. Yang pasti terjadi, lanjutnya, ialah stigma masyarakat terhadap dirinya. 

Selama hampir empat tahun berjibaku dengan proses hukum, Saidah kerap dianggap penjahat kendati pengadilan tinggi memvonis bebas. Kata dia, lingkungan sekitarnya masih belum bisa lepas dari narasi polisi saat menetapkan Saidah sebagai tersangka dan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya. “Orang sekeliling tidak mau tahu tentang putusan tinggi, buat mereka putusan pengadilan yang final,” ujar Saidah. 

Hal tersebut berimbas terhadap aktivitas sosial dan ekonomi Saidah saat ini. Usaha konveksi yang ditekuni jauh sebelum kasus pencemaran nama belum kembali pulih. Saidah sebenarnya masih ingin melanjutkan usaha tersebut. Namun rencana tersebut tertunda karena saat ini ia fokus mengurus suaminya yang sakit dan masih harap-harap cemas menunggu putusan kasasi di Mahkamah Agung. Yang bisa dilakukan keluarga pensiunan ini hanyalah menggelar lapak usaha kecil-kecilan, yakni menjual nasi kebuli. “Ada resep warisan turun-temurun,” katanya. (Zakki Amali)

 

Data Kasus Saidah Saleh Syamlan

  • Kasus bergulir sejak 12 September 2017 usai dilaporkan ke Polda Jawa Timur
  • Nama pelapor Muhammad Bayu Kusharyanto (Kuasa Hukum PT Pisma Putra Textile).
  • Pokok perkara Pasal 27 ayat 3 (defamasi) UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mencemarkan nama baik di pesan WhatsApp. Konteks perkara pencemaran nama baik perusahaan.
  • 30 Oktober 2018 perkara teregister di Pengadilan Negeri Surabaya
  • 26 Februari 2019 PN Surabaya Nomor 3120/Pid.Sus/2018/PN Surabaya memutus pidana 10 (sepuluh) bulan dan Denda sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
  • 5 Agustus 2019, Pengadilan Tinggi Surabaya yang dipimpin oleh Hakim Ketua Arifin Edy Suryanto S.H. memutus bebas (vriejspraak) Saidah Saleh Syamlan.
  • Sejak 2020 proses kasasi di Mahkamah Agung
  • Selama penetapan tersangka hingga kasasi, Saidah Saleh Syamlan tidak ditahan.

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Buntut Panjang Menagih Utang
Lahan Tak Diberi, Transmigran Labuan Bajo Berakhir di Polisi
Putusan Bebas Tak Benar-Benar Membebaskan
Dipenjara Kala Bersuara Antirasisme
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!