Sejak Kamis, 7 Juli 2022 lalu, Anwari tidak bisa tidak gelisah. Ia tengah menanti putusan banding. Sebelumnya, ia diputus bersalah melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) oleh Majelis Pengadilan Negeri Surabaya. Anwari dinyatakan telah mencemarkan nama baik, Nada Putri. “Mengadili, menjatuhkan hukuman penjara satu tahun, denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan kurungan,” demikian putusan Hakim Sutrisno.
Kasus pencemaran nama ini bermula ketika Anwari menanyakan ihwal rumor penahanan dan penggelapan uang sebesar Rp 322 juta oleh Zakaria, suami Nada yang bekerja sebagai City Manager Citraland Surabaya. Sedikitnya ada 32 orang yang ditanya Anwari lewat pesan Whatsapp, saat itu, pertengahan April 2021. Salah satunya ialah Asep Fransetiadi. “Apa mungkin uang Rp 322 juta itu dipakai bu Nada untuk beli jabatan di Citraland,” tanya Anwari seperti tertuang dalam surat dakwaan.
Sementara penerima pesan lain ialah Gatot Yudo. Ia adalah warga Citraland, sekaligus rekan kerja Nada. “Saya nggak menyangka diteruskan ke Bu Nada,” ujar Anwari.
Sekitar akhir April 2021, Nada melaporkan percakapan Direktur Utama PT. Artorius Telemetri Sentosa (Turbonet) kepada polisi. Dalam salinan surat pelaporan tertanggal 20 April 2022 kepada Dir Reskrimsus Polda Jatim, Nada menyatakan bahwa pada 12 April lalu ia mendapatkan informasi dari salah seorang pekerja Citraland Surabaya mengenai pesan Whatsapp yang dikirim Anwari. Nada menilai isi pesan tersebut tak sesuai fakta dan menyinggung kehidupan pribadi Nada. Terlebih pertanyaan sejenis dilayangkan ke puluhan orang lain selain Asep, juga Gatot.
Tidak butuh waktu lama bagi polisi memproses laporan itu. Surat panggilan dari Kepolisian tiba di rumah Anwari yang terletak di bilangan Sambikerep, Surabaya beberapa hari setelahnya.
Anwari menduga laporan polisi terhadapnya tidak hanya terkait pesan Whatsapp. Kata dia, tuduhan pencemaran nama baik tersebut merupakan buntut dari persoalan bisnis antara perusahaannya, Turbonet dengan pihak pengembang, Citraland.
Sebelum kasus ini mencuat, Turbonet sebagai penyedia layanan internet menjajaki kesepakatan bisnis terkait pembangunan tower di sekitar Citraland. Hal itu perlu dilakukan untuk memberikan kualitas pelayanan yang maksimal kepada pelanggan. Hanya saja, pihak pengembang meminta dana bagi hasil sebesar 35% per tower yang berada di sekitar perumahan. “Padahal di lahan milik Pemerintah Kota Surabaya,” ungkap Anwari kepada Jaring.id, Kamis, 18 Agustus 2022.
Sejak itu, sedikitnya ada sekitar 2 ribu pelanggan yang menggunakan jasa Turbo Internet. Para pelanggan, menurut Anwari, tersebar di Citraland, maupun pemukiman lain di sekitar Citraland. Namun, kata dia, layanan internet di perumahan Citraland tidak berjalan maksimal. Pasalnya para teknisi kerap kali ditolak masuk ke perumahan, sekalipun sudah membuat janji dengan pelanggan. Ini karena perusahaannya masih keberatan dengan dana bagi hasil yang diminta pengembang sekitar Rp 350 juta tiap bulan.
“Misalnya teknisi saya berhasil masuk karena satpamnya meleng, kalau ketahuan dikejar sama satpam. Disamperin ke rumah pelanggan. Disuruh pulang seperti maling. Jadi satpam ini sampai mengetuk pintu rumah pelanggan,” terangnya.
Akibatnya, perusahaan Anwari harus menanggung rugi. Bahkan, sejak kasus pencemaran nama bergulir, sekitar 400 pelanggan di Citraland Surabaya memutus sambungan Turbonet. Hal ini membikin perusahaannya merugi sampai Rp 140 juta per bulan. “Sebelum kasus ini meledak jumlah pelanggan saya sekitar 2000 pelanggan, sekarang turun jadi 1700-1600 pelanggan,” tuturnya.
Kini, sembari menanti putusan banding, Anwari memilih fokus untuk mengembangkan bisnisnya di luar perumahan Citraland. Ia tidak ingin persoalan hukum yang menjeratnya berdampak pada keluarga dan 16 karyawannya. Anwari berharap putusan banding nanti berpihak padanya dengan memberikan putusan bebas. Terlebih, ia dan tim pengacara menemukan sejumlah kejanggalan dalam proses persidangan. “Barang bukti SS (screenshot) itu tidak sama dengan pihak Labfor. Jadi yang nggak sama adalah kalimat bertanya yang jumlahnya ada 2,” terangnya.
“Terus ada pertanyaan kedua yang saya kirim kepada sesama karyawan Citraland, apa mungkin Bu Nada menggunakan uang itu untuk memberi jabatan,” ia menambahkan.
Selain itu, Anwari pun mengaku kecewa dengan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan penilaian saksi ahli, DR. M Sholahudin SH.MH dari Universitas Bhayangkara. Di hadapan majelis, Sholahudin sempat menyebut bahwa apa yang Anwari tanya kepada puluhan orang secara personal bukan tindak pidana. Sebab UU ITE mempersoalkan delik pidana yang berkaitan dengan penyebaran pesan secara massal melalui perangkat elektronik maupun media sosial.
“Setahu saya kalimat apakah mungkin dengan nada tanda tanya, itu kan bicara kemungkinan, bicara probabilitas. Kemungkinan itu kan bukan tuduhan, tapi pihak polisi juga menerima dan memproses kasus ini hingga P21, padahal secara substansial ini tidak masuk pasal yang dituduhkan ke saya,” jelasnya.
Dan yang paling ia sesali ialah ketika jaksa penuntut tidak mengupayakan restorative justice. Padahal ini sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi atas Pasal-Pasal Tertentu dalam UU No.19 tahun 2016 tentang Perubahan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Begitu pula dengan Surat Edaran Kepala Kepolisian Indonesia bernomor SE/2/II/2021 yang terbit pada 19 Februari 2021 dan Surat Telegram bernomor ST/339/II/RES.1.1.1./2021. Kedua surat ini mendorong restorative justice dalam penanganan kasus UU ITE. “Harusnya menawarkan restorative justice, itu pun kita sudah meminta. Cuma jaksanya bilang begini, Pak Anwari sudah dimediasi di polda kan? ya sudah nanti RJ nya kita minta,” kata Anwari menirukan ucapan jaksa. (Reka Kajaksana)