Sampai 2,5 Tahun Kasus Menggantung

Bermula dari pemberitaan berjudul “Rizayati Dituding Wanita Penipu Ulung,” yang terbit di metroaceh.com pada 20 Agustus 2020, Bahrul Walidin dilaporkan ke Kepolisian Daerah Aceh. Ia menerima surat pemanggilan pemeriksaan melalui pesan WhatsApp dari penyidik Ditreskrimsus Polda Aceh dua tahun lalu, Selasa, 28 September 2021. Wartawan sekaligus pemimpin redaksi media tersebut diduga melanggar Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terkait pencemaran nama.

Bahrul dilaporkan ke Polda Aceh oleh Rizayati, pimpinan PT. Imza Rizky Jaya pada Senin 24 Agustus 2020 lewat laporan bernomor STTLP/228/VIII/YAN.2.5/2020 SPKT. Selain ke polisi, Bahrul juga dilaporkan ke Dewan Pers pada Senin, 24 Agustus 2020.

Rizayati menuding wartawan yang sudah bekerja sejak 2003 ini mencemarkan nama baiknya lewat berita terkait dugaan penipuan kepada sejumlah pengusaha di pelbagai daerah. Mulai dari Aceh, Lampung, sampai Sulawesi Utara. Menurut Bahrul, berita tersebut ditulis berdasarkan pengakuan sejumlah korban. Antara lain, warga Gampong Lada, Kabupaten Pidie, bernama Niazi. Ia mengaku alami kerugian sampai ratusan juta Rupiah pada 2016 lalu dalam pembayaran uang muka rumah subsidi. Bahkan dalam berita tersebut terlampir beberapa bukti pembayaran yang ditujukan kepada Rizayati.

Alih-alih mengklarifikasi pemberitaan tersebut, Rizayati malah berkeras melaporkan Bahrul ke polisi.  Padahal, saat itu, Metro Aceh sudah memuat hak jawab atau sanggahan terhadap pemberitaan. Akibat kasus ini, Bahrul sempat menjalani beberapa kali pemeriksaan sebelum prosesnya mandek hingga 2,5 tahun. “Namun sidang Dewan Pers tetap berjalan,” ucap Bahrul, Kamis, 30 Maret 2023.

Pengaduan pihak Rizayati dilayangkan pada Senin, 24 Agustus 2020 atau 4 hari setelah berita terbit. Dalam Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor: 41/PPR-DP/X 2020, pengadu menganggap berita media siber metroaceh.com tendesius, vulgar, dan menggiring opini masyarakat. Adapun proses klarifikasi dilakukan DP sekira sebulan setelah pengaduan lewat rapat daring.

Dewan Pers menegaskan bahwa berita yang diadukan oleh Rizayati adalah karya jurnalistik, sehingga mekanisme penyelesaiannya menggunakan UU Pers. Isi berita juga dinilai telah sesuai dengan pedoman pemberitaan media siber. Hal ini ditunjukkan dengan proses konfirmasi beberapa informasi oleh teradu kepada pengadu. Meski begitu, Dewan Pers memutuskan sebagian isi berita, utamanya judul dan informasi terkait pencucian uang melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik alias tidak berimbang dan terkesan menghakimi.

Oleh sebab itu, metroaceh.com diminta Dewan Pers untuk melayani hak jawab secara proporsional. Metroaceh.com juga diminta untuk menstempel berita tersebut sebagai karya jurnalistik yang telah melewati penilaian dari Dewan Pers. “Catatan: Berdasarkan penilaian Dewan Pers, berita ini dinyatakan melanggar Pasal 1 dan 3 Kode Etik Jurnalistik,” demikian tertera di bagian akhir berita.

“Rekomendasi Dewan Pers sudah dilakukan semua,” kata Bahrul. Namun, penyidik Ditreskrimsus Polda Aceh bergeming dengan menyerahkan surat pemanggilan pemeriksaan kepada Bahrul.

Dari surat yang dikirim melalui WhatsApp tersebut Bahrul mengetahui bahwa status hukumnya naik dari penyelidikan menjadi penyidikan pada 26 Agustus 2021. Ia kemudian diperiksa pada 30 September 2021.

 

Berharap Kepastian Hukum

Peningkatan status tersebut, menurut Bahrul, jelas mengabaikan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Beberapa organisasi jurnalis, termasuk Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) pun mengecam tindakan Polda Aceh yang tetap menggulirkan proses hukum terhadap wartawan. Polda Aceh dinilai melanggar Nota Kesepahaman antara Dewan Pers (DP) dengan Polri Nomor 2/DP/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers.

Oleh karena itu, pada 30 September 2021 Koalisi Kebebasan Pers, terdiri dari AJI Indonesia, AJI Bireuen, AJI Kota Banda Aceh LBH Pers, LBH Banda Aceh, SAFEnet menulis surat terbuka ke Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar dapat menghentikan kriminalisasi terhadap jurnalis. “Alhamdulillah secara hukum kawan-kawan AJI, LBH Pers terus memantau perkembangan kasus tersebut,” kata dia.

Belakangan penyidik Polda Aceh melunak. “Bahkan saya diundang langsung oleh Direskrimsus, Kombes Pol. Sony Sanjaya ke ruangannya untuk diajak berdiskusi guna menyelesaikan perkara ini dengan restorative justice,” ungkapnya.

Menurut Bahrul, proses penyelesaian tindak pidana itu dimulai dengan mediasi hingga 6 November 2021. Namun, pelapor tidak pernah menghadiri mediasi tersebut. Lewat sepucuk surat, Rizayati menegaskan hanya bersedia bertemu Bahrul di pengadilan, serta tak akan pernah bersedia damai. “Saya langsung jawab, silahkan dilanjutkan dan jika perlu buka kan saja pintu sel jika memang penyidik ngotot ingin melakukan penahanan,” tegasnya.

Sejak saat itu, kasus yang menimpa Bahrul terhenti. Polda Aceh tak lagi pernah memanggil Bahrul. “Jadi menggantung,” kata dia.

Yang tersisa kini, menurutnya, ialah pandangan sinis terhadapnya. Tak jarang ia mendapat makian dari pendukung Rizayati yang melulu memintanya untuk menurunkan berita dan melayangkan permohonan maaf secara terbuka di sejumlah media. “Karena merasa itu merupakan karya jurnalistik dan bisa dipertanggungjawabkan, saya tidak menggubrisnya. Serta menolak beberapa orang dari pihak PT. Imza yang ingin melakukan mediasi dan berkomitmen menghadapi tuntutan hukum hingga selesai,” tuturnya.

“Seharusnya Hj. Rizayati menghormati keputusan Dewan Pers yang sudah menangani sengketa ini. Bukan malah menebar ancaman, memanfaatkan oknum penyidik Kepolisian untuk mengkriminalisasi jurnalis. Makanya kita menduga penyidik masuk angin dalam menangani kasus ini,” imbuhnya

Bahkan, beberapa hari setelah berita tersebut terbit, ia pernah mendapati salah satunya fotonya ditandai dengan coretan melingkar beserta kalimat bernada ancaman, “tiada ampun bagimu wartawan bodrex.”

Tak hanya itu, Bahrul juga sempat menerima sebuah screenshot pesan WA dengan kalimat, “Satu Kata untuk Metro Aceh dan Pemred Bahrul Walidin..PROSES HUKUM.”

“Semenjak kasus tersebut bergulir, saya merasa tertekan secara psikologis. Ada berbagai macam tanggapan dari masyarakat, Hj. Rizayati yang juga dinilai tokoh publik itu tentunya juga memiliki pendukung, sehingga saya sering menerima perundungan, baik di medsos maupun secara langsung,” lanjut Bahrul.

Bahrul berharap pihak kepolisian segera mengambil keputusan terhadap kasusnya. Apakah hendak dilanjutkan atau dihentikan. Sebab sejak Agustus 2020, Bahrul mengaku tak lagi leluasa melakukan kerja jurnalistik. “Jika berlanjut, saya tetap kooperatif, tapi jangan menggantung seperti ini. Tidak ada kejelasan dan kepastian secara hukum. Jika dilanjut ya silahkan, jika dihentikan alhamdulillah,” ia berharap.

Polisi, kakta dia, perlu segera mendudukan kasusnya dalam kerangka penyelesaian sengketa pers. Hal itu pula yang diminta oleh sejumlah organisasi, seperti AJI Indonesia dan LBH Pers. “Naiknya status ke tahap penyidikan juga janggal, karena pada Oktober 2020 Dewan Pers telah mengeluarkan PPR yang sepatutnya dihormati dan menjadi dalam penyelesaian sengketa pers,” jelasnya.

 

Penulis: Anas, Kontributor Jaring.id di Aceh

Penyunting: Damar Fery Ardiyan

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Kian Ngeri Unjuk Gigi
Dikriminalisasi Selepas Menulis Penganiayaan Polisi
Kisruh Organisasi Hingga Pencemaran Nama Presiden
Putusan Bebas Tak Benar-Benar Membebaskan
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!