Dari Saksi Menjadi Terlapor

Hingga hari ini, Senin, 28 Maret 2022, Rendy Saputra masih ingat betul ekspresi mantan Walikota Baubau, Sulawesi Tenggara, Abdul Sajid Tamrin saat memaafkan perbuatannya mengunggah berita terkait dugaan korupsi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Wameo di beranda Facebooknya. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu tidak menunjukkan amarah, baik dari wajah maupun nada suara. “Saat itu Pak Wali memaafkan dan clear,” ujar Rendy menceritakan kejadian setahun lalu di rumah dinas wali kota di Kelurahan Wale, Kecamatan Wolio pada 1 Januari 2021.

Beberapa hari berselang, Rendy kaget bukan kepalang. Urusan yang ia kira sudah selesai malah berbalik mengarah padanya. Tamrin melalui pengacaranya, Dedi Feriyanto melaporkannya ke Polda Sulawesi Utara pada 19 Januari 2021. “Saya bingung saya cemarkan nama yang mana? Saya tidak pernah berkomentar,” katanya terheran-heran.

Empat orang polisi dari Kendari kemudian mengantarkan surat pemeriksaan ke kediaman Rendy di Bau Bau sebulan setelah pelaporan. Sementara Surat Penyelidikan Nomor: SP/Lidik/87.a/II/2021/Dit Reskrimsus diparaf pada 17 Februari 2021. “Surat panggilannya masih saya simpan,” ucapnya. Hanya saja, menurut Rendy, surat pemeriksaan tersebut tidak menerangkan secara spesifik mengenai kesalahan apa yang ia perbuat. “Saya sempat tanya ini soal apa, tapi katanya datang saja nanti dijawab di proses pemeriksaan,” cerita Rendy.

Tapi karena jarak antara tempat tinggal Rendy di Baubau dengan Polda terbentang sekitar 220 kilometer, ia sempat memohon agar tidak diperiksa di Polda Sultra di Kendari. Ia sangsi bisa membayar biaya perjalanan sebesar Rp 1,5 juta untuk tiket kapal pulang pergi, konsumsi, dan penginapan. “Alasannya karena tidak punya uang. Kalau mau bayarin ya monggo,” ungkapnya.

Setelah berdiskusi, penyidik akhirnya menyetujui untuk melakukan pemeriksaan di Polres Baubau. Pemeriksaan dimulai pada 17 Maret 2021. Dari pemeriksaan itu Rendy baru mengetahui alasan di balik pelaporan yang dilakukan orang nomor satu di Baubau. “Saya baru tahu kalau ternyata gara-gara keterangan kesaksian saya,” ucapnya.

Pada Desember 2020 lalu, Rendy memberikan kesaksian dalam sidang praperadilan penetapan tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik AS Tamrin melalui media sosial. Terduga pelakunya ialah koleganya sendiri di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Baubau, Riski Afif Ishak. “Saya sekretaris saat itu,” ujarnya singkat.

Riski dianggap melanggar Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lantaran menyebarkan berita potretsultra.com berjudul “Soal Dugaan Korupsi TPI Wameo, KNPI Desak Jaksa Segera Periksa Wali Kota Baubau” pada 21 Agustus 2020. Dua bulan berselang, tepatnya pada 23 Oktober 2020, Riski ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tenggara melalui surat bernomor: S.Tap/18/X/2020/Dit Reskrimsus.

Kasus yang menimpa Riski ini bermula dari siaran pers yang disampaikan KNPI Baubau. Mereka mendesak agar Kejaksaan Negeri turut memeriksa walikota dalam dugaan korupsi di TPI Wameo pada Agustus 2019 lalu. Tamrin dianggap bertanggung jawab atas carut marut pengelolaan retribusi TPI karena belum mengangkat kepala UPTD. Akibatnya, ada retribusi sekira Rp 568 juta lebih yang belum masuk ke kas daerah. Padahal pada 2017, Dinas Perikanan Kota Baubau baru mencatat realisasi retribusi TPI baru sebesar lebih dari Rp 188 juta (25,56 %) dari Rp 738.900.000. Selisih penerimaan ini juga tercatat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan pada 2018.

Dalam sebuah sidang, Rendy ditanya seputar unggahan Riski oleh salah satu pengacara Polda. Terdiri dari Kombes Pol La Ode Proyek, Ipda Askar, Ipda Muhammad Rizal, Aiptu Rahmad Hidayat, dan Bripka Zulkifli. Inti dari pertanyaannya terkait bagaimana berita yang menyoroti dugaan korupsi walikota tersebar. “Dia tanya, berita itu tersebar ke mana? Setahu saya berita itu tersebar ke mana-mana. Dibagikan oleh wartawan itu sendiri. Dibagikan oleh teman-teman aktivis dan sebagainya dan banyak orang yang membagikan waktu itu, termasuk saya,” ungkapnya.

Tak dinyana, keterangan dalam persidangan itu lah yang dijadikan pijakan awal bagi kubu Tamrin melaporkan Rendy ke polisi. Ia dianggap turut menyebarkan berita yang mengandung pencemaran nama. Padahal ketika itu Rendy menyatakan tidak berniat mencemarkan nama baik sang walikota. Yang ia lakukan hanya mengunggah berita lewat Facebook pribadi tanpa dibubuhi komentar. “Harusnya yang dibuktikan beritanya dulu. Kalau beritanya bermuatan pencemaran, baru lah kami yang mentransmisikan dikejar,” kata dia.

Pelaporan ini, kata Rendy, diajukan tak lama setelah Hakim Tunggal PN Baubau, Achmad Wahyu Utomo mengabulkan gugatan Riski dengan menyatakan penetapan status tersangka dan DPO tidak sah secara hukum pada Senin, 28 Desember 2020. “Kasus saya lanjutan dari kasus Riski Ishak,” ucapnya.

“Bukan hanya saya yang dilapor, termasuk hakim yang memutus perkara itu, yang memenangkan praperadilan juga dilaporkan ke Bawas Mahkamah Agung,” lanjut dia.

Dalam prosesnya Rendy sempat diperiksa sebanyak dua kali. Tapi kemudian penyidik mendorong agar kasus tersebut diselesaikan melalui mediasi. Pada 31 Maret 2021, Polda Sultra menjadwalkan mediasi kepada kedua belah pihak pada Kamis, 15 April 2021 Pukul 09.00 WITA di Ruangan Subdit V Tipisiber Ditreskrimsus Polda Sultra. “Cuma waktu itu Pak Wali ngotot tidak mau mediasi,” ucapnya.

Rendy diminta untuk meminta maaf secara terbuka karena telah mengunggah berita yang menyinggung Tamrin. “Kita sudah minta maaf. Kita bawa diri karena biar bagaimanapun dia orang tua. Saya sampaikan ke walikota, pak wali saya datang dengan kesalahan ini. Mungkin sepanjang poses ini saya banyak salah kata, salah tindakan,” ungkap Rendy.

Mediasi dalam perkara UU ITE merupakan perintah langsung dari Kapolri, Listyo Sigit Prabowo. Dalam surat telegram bernomor ST/339/II/RES.1.1.1/2021 tertulis jelas jenis perkara ITE yang dapat diselesaikan dengan mediasi atau restorative justice. Pertama adalah ujaran kebencian dengan rincian pencemaran nama baik atau fitnah atau penghinaan. Ada pula tindak pidana yang berpotensi memecah belah bangsa, seperti yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama atau ras dan etnis. “Tapi belum sempat mediasi. Karena selain Covid, Pak Walikota juga sudah mulai sakit,” ujarnya.

Rendy merasa perkara yang menjeratnya kini menemui jalan buntu. Lebih tepatnya menggantung. “Jadi sementara belum ada tindak lanjut terkait laporan,” tulisnya melalui pesan Whatsapp, Senin, 14 Februari 2022.

Sejak undangan mediasi dilayangkan, Rendy menyatakan tidak lagi mendapat kabar ihwal kelanjutan dugaan kasus pencemaran nama baik terhadapnya. Sementara pelapor belum mencabut pengaduannya karena telah tutup usia pada 13 Januari 2022 lalu. “Padahal panjangnya bersengketa kasus ITE ini kan menyita waktu, tenaga, emosi, pikiran, dan sebagainya,” ucapnya.

Dengan menyandang status terlapor, Rendy merasa ruang geraknya, khususnya di jagat maya sangat terbatas. Ia kerap kali menarik diri untuk tidak menuliskan komentar atau pendapat di media sosial. “Sudah kurang-kurang mengomentari. Paling posting foto anak. Dengan kata-kata bijak. Ngeri kita,” ujarnya terkekeh. (Damar Fery Ardiyan)

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Di Ujung Laporan Ada Dugaan Pemerasan
Dipenjara Kala Bersuara Antirasisme
Rusdianto: Apa Untungnya Menteri Memenjarakan Saya?
Pukulan untuk Keluarga dan Serikat Pekerja
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!