Selasa, 21 April 2020. Pagi-pagi sekali Saiful Mahdi bersama isteri menyiapkan perayaan sederhana. Ketika itu, salah satu putrinya berulang tahun ke-19. Semula yang berulang tahun menolak dan meminta bapaknya untuk bersiap menghadapi vonis kasus pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Banda Aceh. Masygul baginya untuk merayakan ulang tahun di tengah proses hukum bapaknya. Namun, Mahdi berkeras tidak ingin melewatkan ulang tahun putrinya itu. “Kami berdoa agar kebahagiaan putri kami menjalar ke ruang sidang,” ungkap Mahdi dalam buku berjudul “Matinya Kebebasan Berpendapat, Ketika Para Korban UU ITE Bertutur.”
Tak lama setelah perayaan ulang tahun, Mahdi berkendara ke PN Banda Aceh. Ia mengenakan kemeja putih yang dipadupadankan dengan celana panjang berwarna coklat susu. Sepanjang perjalanan ia bertanya-tanya dunia seperti apakah yang akan terbentang setelah hari ini?
“Saya saat itu hanya bisa berharap dan berdoa setelah berusaha. Menyerahkan kepada Yang Maha Kuasa dan menguatkan mental terhadap sesuatu yang bakal menimpa kelak,” ujarnya lirih.
Di ruang sidang, keputusan Majelis Hakim PN Banda Aceh ternyata tak sesuai harapannya. Dosen Jurusan Statistika, FMIPA Universitas Syiah Kuala, Aceh ini divonis tiga bulan penjara setelah menjalani proses sidang sebanyak 18 kali. Mahdi dinilai bersalah melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tiga bulan penjara dan membayar denda Rp 10 juta subisider satu bulan penjara,” begitu kata hakim.
Pada hari itu, sebetulnya Mahdi bisa saja mengakhiri rentetan persidangan dengan menerima keputusan hakim. Sebab, menurutnya, vonis yang diputuskan terbilang rendah, kurang lebih hanya 6 persen dari hukuman maksimal 4 tahun penjara. Dendanya pun cukup ringan dibanding denda maksimal Rp 750 juta. “Denda itu bisa dibayar mudah, tetapi itu justru seolah mengamini vonis yang tidak kami inginkan,” ungkap Mahdi.
Cerita Sejenis:
Sayangnya di tingkat banding, keputusan bersalah melakukan pencemaran nama baik tak berubah. Pengadilan Tinggi Banda Aceh justru memperkuat keputusan Pengadilan Negeri pada Juli 2020. Para hakim menolak seluruh pembelaan yang berjumlah 20 dalil hukum, tanpa terkecuali. Sedangkan upaya kasasi yang dilayangkan Mahdi ke Mahkamah Agung (MA) masih berproses hingga saat ini.
Tim penasihat hukum Mahdi yang saat itu diketuai Syahrul menilai bahwa majelis hakim sudah mengabaikan sejumlah fakta dalam persidangan, antara lain keterangan saksi ahli yang menyebut bahwa apa yang disampaikan Mahdi tidak tergolong pencemaran nama. Salah satunya dikatakan Guru Besar Hukum Universitas Airlangga, Prof Henri Subiakto. Ia merupakan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika yang juga pernah terlibat revisi UU ITE pada 2016 lalu.
Dalam kesaksiannya, Henri berpendapat bahwa penghinaan yang ditujukan kepada instansi atau lembaga (rechtspersoon), misalnya universitas, fakultas dan jajaran pimpinan yang jumlahnya banyak atau lebih dari satu tidak termasuk dalam lingkup Pasal 27 ayat 3 UU ITE.
“Apa yang telah dilakukan saudara Dr Mahdi Mahdi memang bukan perbuatan pidana, bukan perbuatan mendistribusikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik. Informasi elektronik yang dikirim Mahdi itu jelas tidak berunsur defamasi (pencemaran nama baik). Mahdi hanya mencurahkan unek-unek melalui tulisan yang memiliki tujuan dan perhatian terhadap dunia akademis ke dalam grup tertutup yang anggotanya semua para dosen atau akademisi,” tulis Prof Henri pada hari di mana hakim memvonis saya bersalah dan menghukum tiga bulan.
Di jagat maya, tulisan Prof Henri itu kemudian tersebar luas, baik lewat media sosial maupun lewat media daring. Dibaca dan diteruskan ribuan kali.
Pendapat Henri kemudian diperkuat oleh kesaksian Totok Suhardijanto. Dosen Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia ini menilai subjek dalam tulisan Mahdi ialah ‘matinya akal sehat,’ sehingga di sana tidak ada yang merujuk pada orang. “Jabatan (secara) kolektif, bukan kepada orang,” tegas Totok pada Februari 2020.
Bahkan dalam sidang—tidak disangka—ahli bahasa yang dihadirkan jaksa melawan Saiful, justru sepakat bahwa pesan WhatsApp itu tidak punya tendensi mencemarkan nama baik seseorang. “Kalaupun kata dikorup dianggap punya arti sama dengan kata korupsi, pertanyaannya apakah ‘fakultas teknik’ sebagai benda bisa melakukan tindakan korupsi? Saya kira tidak,” ujar Mahdi menyitir pertimbangan ahli Bahasa saat itu.
Tapi hakim bergeming. Mereka lebih percaya pada saksi ahli tambahan yang sebetulnya tidak ada di dalam BAP. Menurut Mahdi, pemeriksaan saksi itu tidak lazim karena dilakukan setelah tahap pemeriksaan dirinya sebagai terdakwa. Tapi para hakim memutuskan untuk mengambil diskresi untuk menghadirkan kembali saksi ahli. “Menurut tim kami, pendapat ahli pidana itu lemah dan proses pemanggilannya anomali,” katanya. Tapi justru keterangan saksi ahli tersebut yang digunakan hakim untuk memvonis bersalah. Hakim meyakinkan bahwa sejumlah frasa, yakni “determinisme teknik” merujuk pada fakultas teknik, sementara kata “dikorup” dapat diartikan sebagai tuduhan melakukan korupsi kepada petinggi fakultas. Dengan demikian, Mahdi dianggap bersalah melakukan pencemaran nama.
“Saya tidak asing sebetulnya dengan cara hakim mengadili kasus. Jalannya peradilan terasa seperti sebuah penelitian dengan cara pikir positivisme. Bahwa saksi terakhir itu serupa variabel yang bakal menghasilkan sesuatu yang diinginkan oleh hakim. Dampaknya abai faktor lain seperti kesaksian ahli yang terlibat langsung revisi UU ITE,” ungkapnya.
***
Pemidanaan Mahdi bermula sejak Juli 2019 lalu. Mahdi dilaporkan ke Polresta Banda Aceh atas dugaan pencemaran nama baik. Pelapornya ialah Dekan Fakultas Teknik Unsiyah, Taufik Saidi. Pelapor menganggap pesan yang disampaikan Mahdi di grup Whatsapp “Unsyiah Kita” telah melanggar Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong Xi Fat Cai!!!” begitu pesan Mahdi di grup Whatsapp terbatas pada Maret 2019.
Mahdi menduga perekrutan CPNS 2018 di Fakultas Teknik Unsyiah tidak berjalan sesuai sistem meritokrasi. “Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru tapi begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmen. Hanya para medioker atau yang terjerat ‘hutang’ yang takut meritokrasi,” lanjutnya.
Dalam hal ini, ia merujuk kasus yang menimpa salah seorang pengajar nonpegawai bernama Trisna. Dosen muda yang sudah mengajar selama 2 tahun tersebut dinyatakan gagal dalam penyaringan CPNS sekalipun mendapat nilai tes objektif—tes kemampuan dasar (TKD)—tertinggi tingkat fakultas dan kedua di tingkat universitas. Pihak kampus mengklaim bahwa Trisna gagal dalam tes subjektif. “Sebagai akademisi yang memakai akal sehat, tentu terpanggil bersuara ketika menemukan ketidakadilan,” tegasnya.
Tapi alih-alih membuka ruang dialog, kritisisme yang biasa terjadi di ruang akademik justru dibalas jerat hukum oleh pihak kampus. Taufik Saidi sudah kadung merasa tertuduh. Petinggi Fakulas Teknik Unsyiah itu menganggap nama baiknya dicemarkan Mahdi lewat unggahanya di grup Whatsapp. Padahal, tidak sekalipun Mahdi menyebut nama Taufik dalam unggahan pesannya. Ia pun mengaku tidak berniat untuk mencemarkan nama baik seseorang. Yang ia lakukan saat itu tak lebih dari kritik terhadap kepentingan publik.
“Selama 26 tahun menjadi dosen di Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh dan pernah ikut mendirikan, serta menjadi Ketua Program Studi Statistika yang pertama di kampus, baru kali ini diperlakukan seperti seorang penjahat hanya gara-gara kritik,” ungkap Mahdi.
***
Sejak tahun pertama disahkan pada 2008, UU ITE sudah memakan korban. Lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat lebih dari 768 laporan kasus UU ITE. Ibu rumah tangga, konsumen, buruh, jurnalis, aktivis, seniman, sastrawan dan akademisi seperti Mahdi bergiliran jadi korban UU ITE. “Seandainya dalam upaya hukum kasasi hingga peninjauan kembali juga kalah, masih tersisa pintu terakhir. Pintu itu bernama amnesti,” kata dia optimistis.
Beberapa tahun lalu, Presiden Joko Widodo pernah mengabulkan permohonan amnesti terpidana kasus UU ITE, Baiq Nuril Maknun. Sebelumnya, ia jadi korban UU ITE karena berusaha melindungi diri sendiri dari pelaku kejahatan seksual di Mataram, Nusa Tenggara Barat. “Tenang Mahdi, dulu Bu Nuril kalah di tingkat peninjauan kembali tetapi bisa bebas dengan amnesti presiden,” ujar Mahdi meyakinkan diri.
Keyakinan Mahdi makin menebal karena melihat dukungan yang ia terima selama ini. Mulai dari Paguyuban Korban UU ITE( Paku ITE), saksi ahli terbaik di bidangnya dan dukungan pelbagai lembaga yang membikin amicus curiae (sahabat pengadilan) dari tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Antara lain LBH Pers, SAFENet, ELSAM, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Kontras Aceh, hingga Komnas HAM. Serta lembaga think tank internasional seperti Article19, ScholarAtRisk (SAR) dan Civicus. Di luar barisan tim pejuang keadilan, ada lebih dari 65 ribu tanda tangan yang terkumpul dalam sebuah petisi daring lewat Change.org. “Saya berusaha menguatkan hati yang remuk dan jiwa yang terkikis oleh rutinitas membosankan selama sidang,” ungkapnya.
Pada Kamis, 2 September 2021 lalu, Saiful dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Banda Aceh. Ia ditahan di Lapas 2 A Banda Aceh, Lambaro setelah kasasi yang ia layangkan ditolak Mahkamah Agung. “Kita hari ini datang sebagai warga negara yang patuh hukum. Saya dan keluarga menerima dengan ikhlas. Kehadiran kita wujud patuh hukum. Tapi tentu saja perjuangan untuk keadilan tetap kita lanjutkan. Kita ikuti, tapi bukan berarti tunduk pada kezaliman,” ujar Saiful di depan kantor Kejari Banda Aceh, Kamis, 2 September 2021.
Sementara di rumah, Mahdi mendapat dukungan penuh dari isteri dan juga anak-anaknya. Ia senang, tapi sekaligus sedih. Terlebih ketika ia menggingat status media sosial salah satu anaknya setahun lalu. “Bapak saya ini aneh, nilai-nilai moral yang dipercayainya dan ditanamkan bapak saya kadang membuat sesak. Telah mencekik kami. Tetapi saya mencintainya,” ungkap Mahdi membacakan status medsos anaknya pada pada Jumat, 19 Maret 2021 lalu di Bogor, Jawa Barat.
Status di atas ditulis 21 April 2020. Hari Selasa. Hari di mana dua peristiwa penting datang secara bergantian di sekeliling Mahdi. Pertama ialah perayaan hari ulang tahun anaknya, kemudian vonis 3 bulan penjara dari PN Banda Aceh.
Pernyataan anaknya itu barangkali sebuah paradoks yang menempatkan dunia tempat Mahdi terbangun saat ini tampak jauh berbeda dari dunia tempatnya tidur semalam. Hanya terang matahari dari balik jendela dan hembusan udara yang mungkin tampak begitu sama. Sementara gambaran objektif menyangkut nilai-nilai moral, antara lain soal kejujuran dan antikorupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang ia percaya dan tanamkan sejak dini kepada anak-anaknya jelang tidur, belakangan malah mengubur dirinya sendiri saat bangun.
Presiden Kabulkan Amnesti
Setelah mendekam di penjara lebih dari sebulan, Presiden Joko Widodo akhirnya menyetujui permohonan amnesti Saiful Mahdi. Dosen Universitas Syiah Kuala Aceh yang menjadi korban Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini tinggal menunggu persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah telah selesai memproses permintaan amnesti dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi. Sekarang tinggal menunggu proses di DPR karena berdasarkan Undang-Undang,Presiden harus mendengar DPR bila akan memberikan amnesti dan abolisi. Menurut Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, Presiden harus mendengarkan DPR lebih dulu bila akan memberikan amnesti dan abolisi.
“Alhamdulillah kita bekerja cepat, karena setelah dialog saya dengan istri Saiful Mahdi dan para pengacaranya tanggal 21 September, besoknya saya rapat dengan pimpinan Kemenkumham dan pimpinan Kejaksaan Agung, dan saya katakan kita akan mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Lalu tanggal 24 saya lapor ke Presiden, dan bapak Presiden setuju untuk memberikan amnesti,” ujar Mahfud dalam siaran pers, Selasa, 5 Oktober 2021. (Damar Fery Ardiyan)
Kronologi Kasus Mahdi
- Maret 2019 mengkritik tes CPNS melalui WhatsApp Group “Unsyiah Kita”.
- Juli 2019 dilaporkan ke Polresta Banda Aceh oleh Dekan Fakultas Teknik Unsyiah Taufik Saidi atas dugaan pencemaran nama baik melanggar Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
- 30 Agustus 2019 penyidik memeriksa Mahdi Mahdi sebagai tersangka.
- 17 Desember 2019 sidang dimulai di Pengadilan Negeri Banda Aceh.
- 21 April 2020 vonis PN Banda Aceh tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider satu bulan penjara.
- Juli 2020 vonis PN Banda Aceh dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh.
- Kasasi ditolak Mahkamah Agung
- Saiful Mahdi dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Banda Aceh pada Kamis, 2 September 2021
- Ditahan di Lapas 2 A Banda Aceh, Lambaro
- Pada 29 September 2021, Presiden Jokowi menyetujui permohonan amnesti