Nada suara Napisah, 46 tahun, berubah parau pada Selasa siang, 1 Februari 2022. Matanya berkaca-kaca. Dia tak kuasa menahan tangis saat ditanya dukungan apa yang diberikan kedua anaknya saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat. “Mereka support banget,” kata Napisah dengan suara sengau kepada Jaring.id.
Napisah ialah satu dari puluhan korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dicatat SAFEnet—organisasi yang bergerak melindungi hak-hak digital di Asia Tenggara—sepanjang 2021. Ibu dua anak ini dihadapkan ke meja hijau sejak 15 Maret hingga Agustus tahun lalu. Napisah dijadikan tahanan kota melalui surat bernomor 115/Pen.Han/2021/PN Dpk. “Kalau ingat itu saya sedih,” ucapnya mengingat proses persidangan yang berlangsung di tengah himpitan keuangan.
Saat itu, menurut Napisah, bisnis yang ia jalani terpuruk setelah wabah corona menghantam negeri ini pada Maret 2020. Akibatnya, ia hanya bisa mengandalkan bantuan keluarga untuk menjalani proses hukum yang makan waktu hampir 2 tahun tersebut. “Saya lagi benar-benar tidak ada uang saat itu. Jadi setiap ke pengadilan itu saya minta anak saya. Untuk saya naik Gocar. Kalau anak saya lagi libur, diantar (anak),” kata dia dengan suara bergetar.
“Bolak-balik ke pengadilan itu, terkadang seharian kami menunggu. Datang Pukul 10 baru masuk Pukul 16 sore. Capek. Bulan puasa juga kami tetap menjalani sidang. Aduh stres. Depresi banget saya saat itu. Saya sampai kurus. Muka juga udah jelek banget keliatannya,” tambahnya.
Pada Kamis, 19 Agustus 2021, Majelis Hakim yang diketuai Ramon Wahyudi memvonis bersalah dengan denda sebesar Rp 20 juta dalam persidangan yang berlangsung 157 hari. Dalam surat keputusan Nomor 100/Pid.B/2021/PN Dpk, Napisah dianggap melanggar Pasal 27 ayat 3 karena telah mencemarkan nama baik pelapor, Irma Rahayu. “Yang meringankan karena saya single parent dan terdampak pandemi Covid-19, jadi denda Rp 20 juta subsider kurungan 6 bulan,” ungkapnya.
Cerita Sejenis:
Napisah mengungkapkan kalau pikirannya sempat berkarut saat menghadapi keputusan majelis hakim. Ia kelesah dengan kondisi keuangannya. Bagi Napisah denda Rp 20 juta bukan uang kecil. Terlebih kantungnya saat itu memang sedang cekak. “Bersyukur saya dibantu donasi oleh SAFEnet dan Paku ITE. Karena saat itu kerjaan juga belum ada. Berkat donasi teman-teman, saya tidak menjalani kurungan,” ucapnya.
Meski begitu, Napisah mempertanyakan jerat hukum terhadapnya. Di samping prosesnya sempat menggantung hampir 18 bulan, pelbagai bukti yang disodorkan Napisah dan kuasa hukumnya mentah di meja hakim. Hakim, menurut Napisah, sama sekali mengesampingkan keterangan saksi ahli, antara lain yang disampaikan oleh ahli hukum DR.Supardi. Dalam kesaksiannya, DR.Supardi menyebut bahwa apa yang ditulis Napisah bukan pencemaran nama baik.
Kejanggalan lain ialah proses penyidikan yang tidak disertai forensik digital atas status dan unggahan dari gawai yang dimilikinya. Petugas hukum hanya bermodalkan tangkapan layar (screenshot) yang berasal dari Facebook Napisah.
Dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri (SIPP PN) Depok, keputusan ini berlandaskan dua barang bukti berupa 4 lembar screenshot akun Facebook dan 1 buah flashdisk putih merek Toshiba. “Saya merasa kecewa. Bersyukur ada, karena saya tidak sampai masuk penjara. Tapi saya kecewa. Prosesnya janggal,” ungkapnya.
Sampai saat ini Napisah mengaku masih menyimpan bukti-bukti yang mendorongnya menulis testimoni tentang jasa konsultasi Irma Rahayu, pendiri Emotional Healing Indonesia (EHI). Jumlahnya mencapai ratusan halaman. “Sampai seperti skripsi,” ujarnya. Tapi, “ternyata percuma juga menunjukkan itu tidak ada efeknya,” kata Napisah.
***
Jauh sebelum kasus ini bergulir, tepatnya pada 2011, Napisah berkenalan dengan mamak—begitu Irma hendak dipanggil, lewat media sosial. Ia mengaku tertarik dengan jasa konsultasi dan healing class yang digencarkan Irma lewat medsos. Pada 2015, Napisah berkonsultasi dengan Irma di Semarang, Jawa Tengah. “Di awal kami ketemu 1 jam. Saya bayar Rp 1 juta. Di situ, saya cerita kalau lagi ada masalah. Pokoknya di situ dia bilang bisa menyelesaikan banyak masalah, antara lain bisnis, kesehatan, psikologis, masalah pribadi, rumah tangga,” ungkap Napisah.
Setelah pertemuan itu, Napisah mengiyakan untuk mengikuti salah satu program EHI, Life Coaching yang diampu langsung oleh Irma pada 2016. Napisah merasa saat itu butuh berbicara dengan ahli untuk mendapatkan solusi konkret atas pelbagai masalah, termasuk masalah rumah tangganya. “Bayarnya Rp 30 juta. Itu saya bayar pakai uang THR pun tidak cukup. Tidak boleh dicicil kan, jadi saya pinjam-pinjam uang,” ucap dia.
Mula-mula Napisah mengaku tidak meragukan keahlian Irma. Namun, belakangan ia tersadar bahwa apa yang disampaikan Irma tak sesuai ekspektasi. Dalam urusan rumah tangga, misalnya, Irma selalu menyarankannya untuk bercerai. “Ini tuh jawabannya tidak bijaksana banget. Jadi apa yang perlu diperbaiki kalau begitu,” tukasnya heran.
Pun dengan masalah utang-piutang dalam bisnis periklanannya. “Kalau jawabannya gali lubang tutup lubang begitu, saya bisa tanya teman-teman. Tidak perlu ke dia. Jawabannya simple. Saya tidak puas,” ungkap Napisah.
Meski begitu, Napisah mengaku tak punya pilihan selain menuntaskan program berdurasi hingga 5 bulan tersebut. “Paketnya itu 5 bulan + 3 bulan untuk maintenance. Bisa ketemu dia lagi setelah program tersebut. Anggap saja curhat ya karena saya tidak menemukan solusi dari dia,” jelasnya.
Namun, amarahnya menjadi-jadi ketika mengetahui Irma menyebarluaskan masalah pribadinya ke peserta lain lewat WhatsApp Group (WAG). “Dia itu bikin WAG banyak. Di mana di WAG A tidak ada saya, dia ngomongin saya. Di WAG B tidak ada mas Damar, dia ngomongin mas Damar. Sampai masalah ranjang saya diceritain,” ungkapnya tak habis pikir.
Napisah kemudian melayangkan surat permintaan klarifikasi kepada Irma ke kediamannya di Cibubur sekitar 6 bulan sebelum pelaporan ke polisi. Surat itu juga ditandatangani sejumlah orang lain yang merasa dirugikan oleh tindakan Irma. “Di kontrak itu dia berjanji untuk merahasiakan rahasia kliennya. Sebenarnya tanpa kontrak pun, kode etiknya tidak boleh dong cerita begitu,” kata dia.
Dua kali permintaan klarifikasi dari Napisah tak dipenuhi Irma. Pesan singkat yang dilayangkan ke ponselnya pun tak berbalas. “Nomor saya diblokir,” ujarnya singkat.
Napisah yang merasa dirugikan kemudian mengunggah 3 ulasan lewat akun Facebook pribadinya tentang jasa konsultasi Irma. Dimulai pada 9 September 2017, kemudian 10 Oktober, dan ditutup pada 28 Oktober 2017. Salah satu tulisannya diunggah di situs penggemar (fanpage) Facebook EHI.
Pada unggahan 28 Oktober, Napisah menyarankan agar teman-temannya di Facebook lebih berhati-hati dan cermat mencari jasa konsultasi. “Saya tulis bahwa EHI itu tidak saya rekomendasikan. Karena dia tidak amanah,” ucap Napisah.
“Saya berbuat itu untuk membela diri saya dan menjaga orang lain agar tidak jadi korban seperti saya,” lanjutnya.
Alih-alih mengklarifikasi permintaan konsumen, Irma justru mensomasi Napisah melalui pengacara atas unggahan pada 9 Septemer 2017, 10, dan 28 Oktober 2017. Namun, Napisah menolak untuk meminta maaf. “Akhirnya saya dipanggil Polres Depok pada Desember 2019,” ujarnya.
Napisah bukan satu-satunya konsumen yang dijerat UU ITE oleh pemilik jasa. Sebelumnya, Muhadkly Acho dan Stella Monica dijerat pasal serupa ketika memperjuangkan haknya sebagai konsumen. Acho diseret ke ranah pidana setelah curahan di blog pribadinya pada Maret 2015 silam digunakan PT Duta Paramindo Sejahtera sebagai barang bukti pelaporan. Padahal, perusahaan itu ialah pengelola unit apartemen Green Pramuka City, Jakarta—tempat tinggal Acho bersama istrinya beberapa tahun lalu.
Sementara Stella diperkarakan klinik L’VIORS pada Desember 2019 setelah mengeluhkan kondisi kulit wajahnya di Instagram. Pada 14 Desember 2021, Pengadilan Negeri Kota Surabaya memutuskan Stella tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik hingga merugikan klinik kecantikan.
Rentetan perkara pidana tersebut makin membuat Napisah sadar soal lemahnya perlindungan konsumen di jagad maya. Pasalnya, UU ITE kerap kali mengesampingkan latar belakang atau masalah pokok yang dapat memicu seseorang berkeluh kesah di medsos. “Berarti korban, konsumen tidak bisa speak up,” ia mempertanyakan.
Oleh sebab itu, selama UU ITE belum direvisi, Napisah mengaku akan lebih berhati-hati ketika menggunakan medsos. Terlebih ketika menyangkut lembaga, badan usaha, atau pemerintah. Salah-salah ia kembali lagi dihadapkan ke meja persidangan. “Bagaimana kalau saya melawan yang lebih besar dari dia? Bisa jadi apa saya,” ucapnya. (Damar Fery Ardiyan)