Ghina Alwi tersentak membaca surat panggilan dari Kepolisian Resort Tangerang Selatan. Surat panggilan dengan dasar laporan bernomor LP/B/3300/VII/2022 SPKT/Polda Metro ini dikirim seorang kurir ke rumahnya di Kota Bandung, Jawa Barat. Isinya mengenai dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ghina dianggap melakukan pencemaran nama baik kepada seorang perempuan berinisial EN lewat akun media sosial Instagram. “Saya kaget banget,” kata Ghina saat ditemui di Jakarta, Senin, 17 Oktober 2022.
September 2022, Ghina menerima surat panggilan bernomor B/5169/VIII/RES.2.5/2022/Reskrim. Kali itu ia diminta untuk hadir dalam pemeriksaan di Polda Metro. Surat itu juga menyebutkan adanya pelimpahan proses hukum dari Polda Metro ke Polres Tangerang Selatan. Ghina diperiksa sebagai saksi atas laporan yang dibuat oleh EN. “Saya mau menangis. Meski begitu, saya penuhi laporannya. Jauh banget dari Bandung ke Tangerang,” kata Ghina menahan pilu.
Pelaporan terhadap Ghina bermula dari perkara penipuan yang menimpa suaminya, Alwi Sami. Pada 2020 lalu, Alwi ditipu sebesar hampir Rp10 miliar dalam kerjasama berkedok bisnis ekspor biji kopi dengan seorang laki-laki berinisial GSW—suami dari EN. Saat itu, Alwi menyetor uang dari rekening PT MBE ke pemasok biji kopi di Medan, PT PIP. Setoran uang miliaran Rupiah itu dibuktikan dengan invoice PT PIP dan bukti transfer dari PT MBE ke PT PIP.
Biji kopi dari perusahaan lantas dijual ke pembeli asal Singapura, Young In Pte. Ltd dan pembeli asal Jakarta, Nagadi Coffee dengan dasar purchase order (PO) dari kedua pembeli tersebut. Namun uang hasil penjualan kopi yang menjadi hak Alwi tidak kunjung disetor. Padahal Alwi sudah berusaha meminta hasil penjualan kepada GSW. Namun hampir 6 bulan berlalu, GSW tak kunjung membayar. ”Selalu ada aja alasannya, dan ditunda terus,” kata Ghina.
Oleh sebab itu, Alwi berinisiatif menanyakan langsung kepada pembeli asal Singapura, Jakarta, serta pemasok asal Medan perihal pembelian biji kopi. Mereka membantah telah memesan atau menerima biji kopi dari GSW. Bahkan, pihak perusahaan juga mengaku tidak pernah berurusan dengan GSW sebagai pemasok kopi selama bertahun tahun.
Cerita Sejenis:
Pada awal Januari 2021, Alwi baru menyadari semua invoice dan PO yang ia terima palsu. Begitu pula dengan kop surat dan tanda tangan yang tertera di invoice. “Kami dibohongi,” ujar Ghina.
Meski begitu, Alwi beserta keluarga tak langsung menghakimi. Mereka mencoba berbaik sangka dengan mengajak GSW dan EN bertemu menyelesaikan masalah secara kekeluargaan sepanjang Februari 2021. Pertemuan itu menghasilkan Surat Pengakuan dan Penyelesaian Hutang (SPPH) yang diwakili Achmad Syarif—kakak kandung dari Alwi, pada 8 Februari 2021. Selain Alwi, Syarif juga korban dugaan penipuan dalam perkara ini. Ia merugi hingga Rp4 miliar. Jadi total uang yang diduga ditilep GSW dari keluarga Alwi diduga sekitar Rp14 miliar.
Dalam pertemuan tersebut, GSW dan istrinya, menurut Alwi, menyanggupi untuk membayar utang tersebut dengan menjaminkan beberapa aset, seperti biji kopi sebanyak 172 ton, dua unit mobil, dan 3 saham perusahaan. Dalam perjanjian yang ditunjukkan kepada Jaring.id, tertulis tenggat waktu pembayaran selama dua pekan atau 27 Februari 2021. Apabila tak bisa membayar, maka aset yang dijaminkan itu akan menjadi milik Alwi dan kakaknya. “Di situ istrinya menandatangani sebagai pihak yang mengetahui, menjamin, dan ikut bertanggung jawab atas utang itu,” ujar Ghina.
Hingga tenggat yang disepakati, GSW tak kunjung membayar. Satu bulan pun berlalu. Alwi bersama keluarga kemudian mencari informasi lebih lanjut perihal barang yang dijaminkan oleh GSW. Hasilnya, hampir semua aset yang dijaminkan diduga bodong. Seperti jatuh tertimpa tangga, Alwi dan kakaknya kembali tertipu. Unit mobil yang dijaminkan telah dijual pada Desember 2020 atau sebelum pembuatan PPH. Sedangkan, ratusan ton biji kopi juga tidak pernah dimiliki oleh GSW.
“Setelah kami selidiki, harusnya jaminan itu diserahkan ke kami setelah jatuh tempo. Berkali kali mencoba berbicara dengan GSW dan EN untuk dapat menyelesaikan kewajiban mereka tanpa harus berurusan dengan penegak hukum,” ujar Alwi kepada Jaring.id, Senin 17 Oktober 2022 yang saat itu menemani istrinya, Ghina menjalani proses pemanggilan kepolisian atas kasus UU ITE.
Pada 4 Maret 2021 kesabaran Alwi melewati batas. Ia mengaku geram, sehingga melayangkan somasi atas dugaan pemalsuan data, penipuan, penggelapan, dan pencucian uang. Namun somasi tersebut tak dianggap setelah 16 hari berlalu. Karena itu, Alwi terpaksa melaporkan GSW ke Polda Metro Jaya pada 26 Maret 2021.
Namun 1 tahun lebih berselang, Alwi belum mendapatkan kepastian hukum terkait pelaporan terhadap GSW. Ghina yang keburu kesal, terpaksa berkeluh kesah dan melontarkan pertanyaan di Instagram miliknya pada 25 Juni 2022. “Saya melihat proses kepolisian lambat,” tuturnya.
Dalam unggahan itu, Ghina memulai dengan kronologi kasus dugaan penipuan, penggelapan, hingga dugaan tindak pidana pencucian uang. Dugaan ini dicurigai lantaran terduga pelaku membeli rumah di Jakarta. Semuanya kemudian diunggah sebanyak 4-5 kali di akun yang memiliki pengikut sebanyak 205 ribu pengguna. “Dalam postingan itu kami mention dua orang, EN dan GSW,” ujarnya.
Dengan unggahan itu, Ghina berharap GSW maupun EN terdorong untuk menemui keluarganya. Sebab sudah berulang kali upaya dilakukan untuk menemui sang suami tapi gagal. GWS diketahui sedang menjalani pidana dalam persoalan yang sama. “Kami mau berdiskusi secara kekeluargaan dan meminta pertanggung jawaban atas perbuatan suaminya,” ujar Ghina. Namun itikad baik itu tak mendapat respons baik. Bahkan, Ghina berujar, kata maaf pun tidak pernah terucap dari GSW maupun EN.
Alih-alih menemui keluarga Ghina, EN justru berbalik melakukan somasi. EN meminta agar Ghina menghapus postingan yang telah disebarkan, serta meminta maaf kepada publik terkait postingan itu. Tak hanya itu, Ghina dan keluarga juga diminta mengklarifikasi semua peristiwa yang terjadi agar tidak ada salah paham atas apa yang menimpa suaminya.
Permintaan itu disanggupi Ghina. Ia melakukan permohonan maaf dan melakukan semua yang diminta EN melalui akunnya pada 1 Juli 2022. Setelah semua permintaan somasi itu dituruti, pikir Ghina, masalah itu selesai. Nyatanya tidak. “Saya sebagai korban malah dilaporkan,” ujarnya.
Laporan dugaan pencemaran nama yang menyeret Ghina diproses di Polres Tangerang Selatan sesuai dengan domisili EN. Pada 12 September 2022 lalu, Ghina dipanggil penyidik untuk dimintai Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Saya datang bersama suami,” kata Ghina.
Saat itu, ia menjalani pemeriksaan sebagai saksi tanpa didampingi kuasa hukum. Penyidik mencecarnya dengan 14 pertanyaan seputar postingan yang dibuat. Proses pemeriksaan, kata Ghina, berlangsung selama empat jam. Namun pada saat Polisi memberikan draft BAP, kata dia, ada beberapa poin yang sempat tidak sesuai dengan apa yang ia sampaikan. “Namun untungnya penyidik memberikan kesempatan kepada saya untuk mereview dan mengubah BAP sesuai dengan keterangan saya. Kami minta BAP diganti karena tak sesuai,” kata Ghina.
Tak berselang lama, penyidik menawarkan penyelesaian kasus UU ITE dengan pendekatan restorative justice. Kedua belah pihak diminta bertemu dan menyelesaikan gugatan hukum UU ITE di luar pengadilan. Penyelesaian ini sesuai dengan Surat Edaran Kapolri No:SE/2/II/2021. “Saya bilang boleh karena itu yang kami harapkan untuk menyelesaikan kasus ini,” tuturnya.
Pada Selasa, 18 Oktober 2022, Ghina, suaminya, didampingi pengacara Paguyuban Korban Undang-Undang (PAKU) ITE, Muhammad Arsyad menjalani mediasi di Polres Tangerang Selatan. Mereka dipertemukan dengan EN yang juga didampingi oleh kuasa hukumnya. Masing-masing memberikan tanggapan mengenai proses hukum yang dialami. Namun ketika itu belum ada kesepakatan damai yang mengarah ke pencabutan laporan. Kata Alwi, pertemuan lanjutan akan dilakukan dalam kurun waktu beberapa pekan ke depan. “Mediasi berjalan lancar. Namun putusannya seperti apa akan dibicarakan antara pengacara,” ungkap Alwi.
Kendati upaya mediasi sudah ditempuh, tak lantas Ghina merasa lebih tenang. Seumur hidup, baru kali ini Ghina berurusan dengan polisi. Bahkan ia mengaku baru pertama kali menginjakkan kaki ke kantor Korps Bhayangkara. “Saya tidak pernah berhubungan dengan kasus di Kepolisian,” kata Ghina.
Sepanjang hidupnya, Ghina mengaku selalu berpikiran dan berlaku positif. Itu pula yang ia lakukan ketika berinteraksi lewat media sosial. “Saya tidak pernah disalahkan. Saya selalu berusaha membawa positif vibe. Saya tidak pernah drama di media sosial,” ungkapnya.
Sementara unggahan terkait dugaan penipuan dilakukan semata-mata untuk membantu keluarga yang tengah menghadapi situasi sulit. Bagi Ghina, apa yang dialami suaminya juga terasa olehnya. “Itu berdampak juga ke saya. Kami memikul beban bersama,” kata dia.
Sejak kasus ini mencuat, Ghina mengaku tertekan secara psikologis. Sepanjang malam ia kerap susah tidur. Masalah hukum yang menjeratnya selalu terbayang ketika mata mulai mengantuk. “Mental saya terganggu. Saya tidak pernah dapat surat panggilan begini. Saya tidak suka keributan,” ujar Ghina sembari mengaku tak lagi ingin menyampaikan cerita mengenai dirinya lewat media sosial. Ia menyatakan mulai takut berbicara. “Saya takut suara tidak cukup, bukti dan fakta yang saya sampaikan tidak cukup. Saya menjadi korban. Walaupun begitu, saya percaya saya benar. Saya tahu saya benar,” tuturnya.
Masalah yang membelit keluarganya juga berpengaruh terhadap kondisi ekonomi keluarga sehari-hari. Uang tabungan keluarganya ludes akibat kasus penipuan. Karenanya, Ghina mengaku terpaksa mengambil tabungan uang sekolah kedua anaknya demi bertahan hidup, dan merintis usaha baru dengan modal seadanya. Padahal anak pertama mereka yang sudah hampir berusia 6 tahun sudah harus bersekolah. ”Karena sudah tertipu kami harus berpikir keras untuk bisa survive,” katanya.
Ghina juga mengaku terpaksa melepas rumah impian yang ia beli dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Rumah di bilangan Tangerang Selatan itu sedianya akan ditinggali dalam waktu dekat. Namun urung dilakukan karena tak sanggup lagi membayar cicilan KPR. “Karena kasus suami saya nggak kelar dan belum ada pengembalian uang. Akhirnya kami nggak bisa bayar KPR. Jadi berat. Kami nggak jadi jalankan KPR. Rumah akhirnya kami putuskan untuk dijual,” ujarnya dengan berat hati.
Hingga dua tahun sejak perkara yang dimulai dari kasus penipuan, Ghina dan Alwi masih menaruh kepercayaan kepada polisi untuk memberi keadilan kepada mereka Ia berharap polisi lebih serius mengusut dugaan kasus penipuan terhadap keluarganya ketimbang laporan pencemaran nama baik. Hal ini, menurutnya, perlu dilakukan agar citra polisi di mata masyarakat kembali pulih. “Sebenarnya lebih ke kecewa yang dirasakan. Ke polisi lebih nggak takut, tapi kecewa. Kenapa urusan suami saya hampir 2 tahun belum mendapatkan kepastian hukum tapi kasus UU ITE ini berjalan cepat. Padahal dari awal kami membawa banyak bukti. Tapi yang dipanggil kasus UU ITE,” pungkasnya. (Abdus Somad)