Rusdianto: Apa Untungnya Menteri Memenjarakan Saya?

“Apa salahnya rakyat menduga? Di setiap tulisan, saya selalu katakan ‘diduga, terduga, menduga’. Saya juga sajikan jawaban secara lengkap.”

Kalimat itu ditulis Rusdianto Samawa Tarano Sagarino sebagai penutup pledoi—nota pembelaan, terkait perkara pencemaran nama yang disidangkan pada 2018 silam. Rusdianto dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) lewat laporan polisi bernomor LP/664/VII/2017/Bareskrim pada 6 Juli 2017. Pelapornya adalah Susi Pudjiastuti—saat itu, menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019.

Susi memperkarakan aktivis nelayan tersebut karena unggahan di status Facebook dan kanal YouTube. Menurut Susi, pernyataan Rusdianto menyerang kehormatan dan mencemarkan namanya. Namun bagi Rusdianto, status Facebook itu sekadar pertanyaan seorang warga atas kebijakan sang menteri. “Yang kami dan kawan-kawan lakukan itu kritik terhadap kebijakan,” tutur Rusdianto kepada Jaring.id pada 5 Juni 2022.

Semua berawal ketika PP Muhammadiyah menugaskan Rusdianto mendampingi kelompok nelayan. Kala itu, ia menjabat Ketua Divisi Advokasi Buruh Tani dan Nelayan di Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah.

Mula-mula Rusdianto tak memahami ihwal kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tapi pelan-pelan ia paham setelah membaca produk demi produk regulasi yang berkaitan dengan hajat hidup nelayan. Lambat laun, ia merasa ada yang janggal dari beberapa peraturan KKP.

Mandat yang awalnya sebatas pemberdayaan nelayan, lantas merambah ke advokasi kebijakan. Ia menyisir dan mengamati aturan yang dibikin sejak Susi menjabat pada 2014. “Ini aneh sekali, baru menjabat menteri itu bisa 20 peraturan dibuat,” ucap Rusdianto.

Di antaranya Peraturan Menteri Nomor 71/2016 dan Peraturan Menteri Nomor 02/2015 tentang Pelarangan Alat Tangkap Ikan Trawl dan Seine Nets. Rusdianto menilai kebijakan ini keliru.

Selintas aturan tersebut tampak baik-baik saja lantaran menggunakan alasan, seperti konservasi laut. Namun, menurutnya, kebijakan seperti itu menjustifikasi sebagian alat tangkap ikan nelayan sebagai piranti yang tidak ramah lingkungan dan karenanya dianggap merusak ekosistem, sehingga berujung ke pelarangan.

Rusdianto menjelaskan, dalam pelbagai studi kelayakan sumberdaya ikan dan alat tangkap, aspek keberlanjutan atau sustainable memang jadi salah satu yang penting dibahas. Sebab sustainable adalah variabel utama penentu arah perubahan sosial kelompok nelayan. Kondisi tersebut diyakini menciptakan harapan bagi kesejahteraan nelayan—meski ada variabel lain seperti sistem penangkapan ikan, alat tangkap ramah lingkungan dan, pengurusan izin kapal.

Namun yang perlu diingat, sustainable juga sangat dipengaruhi corak dan model alat tangkap, serta spesifikasi kapal. Ini yang luput dari kebijakan Susi.

Karena itu, kata dia, sebelum menyusun dan menerapkan kebijakan Susi sebagai Menteri KKP terlebih dulu mendengarkan pendapat nelayan. Alih-alih bertanya kesiapan nelayan, ia menganggap beberapa kebijakan pemerintah saat itu justru terkesan memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan kesejahteraan, kedaulatan, dan nasionalisme.

“Bukti rusaknya struktur sosial masyarakat pesisir, dampak dari keputusan dan kebijakan peraturan menteri itu sangatlah nyata, seperti di Rembang, Tegal, Lamongan, Bitung, Pontianak, Sulawesi, NTT dan NTB,” jelas Ketua Umum Front Nasional Indonesia tersebut, dikutip dari dokumen pledoi.

Luapan pemikiran dan pertanyaan itu diungkapkan Rusdianto di media sosial Facebook. Dua di antaranya:

“Heran, merasa heran, sudah gagal, ditambah dengan kebijakan Permen yang ugal-ugalan. Sekarang ditambah juga dengan perilaku tidak baik yakni bau korupsi di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.”

“KKP RI juga mendistribusikan kapal kepada masyarakat melalui koperasi yang dibentuknya sendiri dan ditunjuk langsung pengurusnya, tanpa ada proses pemenuhan syarat-syarat sesuai Undang-Undang Koperasi.”

Begitulah kemudian unggahan tersebut diperkarakan. Kesangsian soal kebijakan yang dianggap belum mempertimbangkan kearifan dan keadilan sosial tersebut berbuntut proses hukum. Kritik terhadap kebijakan pemerintah berbuah laporan polisi.

Pada 6 Juli 2017 silam, Susi mengadukan Rusdianto ke Bareskrim Polri atas dugaan penghinaan dan pencemaran nama. Tak sampai dua bulan, Rusdianto ditetapkan sebagai tersangka.

Atas unggahan tersebut, hakim di pengadilan tingkat pertama menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta pada 2018. Merasa tak puas, Rusdianto mengajukan banding.

Sayangnya, putusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan vonis di pengadilan tingkat pertama. Rusdianto kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. “Saya pasrah (waktu itu), tapi demi Allah, saya tidak pernah berniat mencemarkan nama baik. Dan Ibu Susi juga tidak tercemarkan juga nama baiknya, karena dia pejabat,” kata Rusdianto.

Namun putusan kasasi tak banyak mengubah situasi. Rusdianto tetap dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal penghinaan dan pencemaran nama. Meski vonisnya lebih rendah, yakni enam bulan penjara dan 1 tahun masa percobaan. “Tapi sampai ada putusan (kasasi) ini, saya tidak merasa bersalah, dan tidak pernah merasa mencemarkan nama baik dia (Susi Pudjiastuti),” pengakuan ini diucapkan Rusdianto berulang-ulang sepanjang wawancara.

Dalam proses hukum ini, Rusdianto tidak hanya menanggung hukuman, ia pun mengaku sudah merogoh kocek yang tidak sedikit. Antara lain biaya operasional, seperti transportasi, pertemuan dengan tim hukum, juga rapat-rapat setiap kali hendak bersidang. Hanya ia enggan merinci total uang yang sudah dikeluarkan. “Tapi jasa pengacara untungnya gratis, karena dari senior di Muhammadiyah,” imbuhnya.

Kurang lebih empat tahun peradilan berlangsung. Selain duit, ia mengakui bahwa proses hukum ini melelahkan. “E…pokoknya (proses persidangan) itu lama sekali,” tutur Rusdianto berusaha merunut dan menghitung, berapa jumlah sidang yang harus ia lalui, berapa kali kantor pengadilan ia sambangi. Sialnya, upaya mengingat itu gagal.

Menghadapi gugatan hukum memang tak menggetarkan Rusdianto untuk mengungkapkan kritik atau pendapat, tapi bukan berarti ini hal yang mudah untuk dilewati. “Sesak napasnya itu, lama sekali,” ungkapnya meski telah empat tahun berselang.

“Tapi, realita harus dihadapi,” lanjutnya lagi, terkesan seperti meyakinkan diri—bahwa semuanya baik-baik saja. Ia menganggap pelaporan terhadap dirinya bukan sebagai beban, melainkan ‘hiburan-hiburan’ hidup yang suatu saat bisa dikisahkan ulang.

Hingga proses hukum sampai ke tingkat kasasi, ada satu hal yang masih mengganjal dan sangat ingin ditanyakan Rusdianto kepada Susi, yakni “Memang apa untungnya Bu Susi memenjarakan atau melaporkan saya? Dan apa pula untungnya buat saya (mencemarkan nama Bu Susi)?” (Ika Manan

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Dilaporkan UU ITE karena Mengeluh di Instagram
Pembungkaman Ekspresi di Ruang Akademik
Buntut Panjang Kriminalisasi Sadli
Dibui, Bayi, dan Asimilasi
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!