Dua kali Iin Solihin menerima surat penetapan tersangka. Pertama kali didapatkan pada Januari 2021. Pengirimnya ialah Polsek Cileungsi, Kabupaten Bogor. Sebulan berselang, ketika ia tengah diterungku di Lembaga Pemasyarakatan Pondok Rajeg, Cibinong, Iin kembali ditetapkan tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Jawa Barat. “Ini proses hukum untuk kedua kalinya,” cerita Iin kepada Jaring.id melalui wawancara daring, Kamis 6 April 2022.
Iin adalah pengurus Dewan Pimpinan Daerah Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN). Ia dituding melanggar Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena mencemarkan nama baik.
Sebelumnya, Iin dianggap mencuri data dan memalsukan sejumlah tanda tangan warga. Kasus itu terjadi di tengah sengketa tanah Pemakaman Kober, Cileungsi. Iin membantu warga mensomasi perusahaan properti yang memblokir akses ke pemakaman milik Klenteng Han Tan Kong. Tetapi, “tiba-tiba masyarakat berbalik dan tidak mengakui kalau kami advokasi,” ujar Iin.
Hingga akhirnya pada Januari tahun lalu, Iin ditangkap saat sembahyang Subuh di kantor DPK Arun Gunung Putri. Iin masih ingat betul bagaimana polisi mengetuk pintu kantor ketika itu. Ketukan pintu yang awalnya pelan perlahan cepat. “Saya pikir saat itu lagi ada maling,” ungkapnya
Dari balik pintu telah berdiri dua orang polisi tak berseragam menyampaikan bahwa Iin akan dibawa ke Polsek. Iin tegas menolak penangkapan itu. Sebab, menurut Iin, polisi tidak berbekal surat penangkapan. Berulang kali ia meminta agar pihak kepolisian menunjukkan surat perintah penangkapan. Tapi mereka bergeming. “Saya berdebat,” ungkapnya.
Cerita Sejenis:
Padahal, menurut Iin, polisi juga tidak bisa menunjukkan bukti pencemaran nama baik yang dituduhkan kepadanya. Dalam Pasal 184 Kitab Hukum Umum Pidana (KUHP) disebutkan bukti permulaan yang cukup sebagai minimal dua alat bukti sebagaimana diatur, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa. Tanpa adanya minimal dua alat bukti tersebut, kata dia, polisi tidak dapat melakukan penangkapan. “Penetapan saya sebagai tersangka tidak sah,” ujar Iin.
Hingga akhirnya Iin pasrah digelandang masuk ke dalam mobil Inova berwarna hitam. Kepalanya dipiting, dicekik, lalu tangannya pun diborgol. “Saya dianggap kriminal. Sehabis itu saya dibawa ke Polsek,” ujar Iin.
Selama berada di dalam mobil, Iin memilih untuk diam. Butuh waktu sekitar setengah jam bagi polisi untuk membawanya ke kantor polisi. Di sana ia kembali dipaksa menandatangani surat perintah penangkapan. “Tanda tangan maupun tidak, saya pasti akan ditangkap,” ucapnya pasrah.
Usai penangkapan Iin langsung ditahan. Penahanan berjalan selama satu bulan. Selama itu pula ia mengaku tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum. “Saya ditangkap paksa karena dianggap DPO. Padahal saya tidak melarikan diri,” jelasnya perihal alasan penahanan.
Satu bulan berlalu, kasus yang menjerat Iin dialihkan ke Kepolisian Resor Bogor. Pasalnya perkara terkait UU ITE tidak bisa ditangani polisi setingkat Polsek. Namun, menurutnya, penangan kasus di Polres tak jauh berbeda. Iin tetap ditahan, meski tuduhan pidana terhadapnya belum begitu jelas. Kali itu ia ditahan di Blok A. “Saya di lapas sekitar 3 bulan,” ungkap Iin.
“Susah saya menjelaskan. Perasaan ini berkecamuk. Memikirkan anak istri. Banyak yang membuat saya mungkin lebih cengeng dari anak bayi. Kepada siapa lagi saya minta pertolongan? Rasanya perih,” sambung Iin ketika mengingat isterinya yang harus banting tulang selama ia dipenjara.
Empat bulan berselang, tepatnya pada 21 Mei 2021, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong menegaskan bahwa Iin tidak bersalah. Para hakim menyatakan bahwa Iin tidak terbukti melakukan pemalsuan data. Dalam putusan hakim, Iin dianggap menerima lembaran tanda tangan masyarakat secara sah dan digunakan untuk menyelesaikan sengketa tanah di Cileungsi. Putusan hakim menyatakan bahwa unsur Pasal 48 ayat 1 jo. Pasal 32 ayat (1) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terpenuhi.
“Terdakwa haruslah dinyatakan bebas tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dan harus dibebaskan dari dakwaan tersebut,” tulis hakim dalam putusan Nomor 139/Pid.B/2021/PN Cbi.
Hakim juga menyatakan bahwa persoalan dalam perkara Iin harusnya dapat dibicarakan secara kekeluargaan antar warga di wilayah Cileungsi bukan dengan UU ITE. Hal itu, menurut hakim, sejalan dengan Peraturan Kapolri berupa Surat Edaran Nomor SE/2/11/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, dan produktif. “Peraturan Kapolri tersebut diharapkan adanya upaya restorative justice,” tulis hakim.
“Saat hakim menyatakan bebas, saya pikirkan memeluk anak saya bungsu. Saya kangen. Atas pertolongan Tuhan dan kemuliaan majelis hakim mereka menjalankan dengan baik,” ungkap Iin.
Meski begitu, putusan bebas tersebut belum cukup menghentikan stigma dan jerat pidana terhadap Iin. “Keluar dari lapas dianggap sudah tidak benar. Perjuangan berat buat saya,” ungkapnya.
“Dulu berpikirnya menolong orang dalam posisi benar pasti menang, karena ada kepastian hukum. Sekarang, saya jadi ragu. Apakah iya ketika melakukan ini bisa diharapkan. Kepastian hukum itu sudah hilang,” ia melanjutkan.
Sampai hari ini, Rabu, 18 Mei 2022, Iin masih harus menghadapi pelaporan hukum. Iin dilaporkan menggunakan UU ITE karena tulisan di platform publikasi daring Kompasiana pada 13 Desember 2020. Tulisan tersebut berjudul “Diskriminasi dan Kriminalisasi Hukum.” Dalam ulasannya, Iin menyampaikan pengalamannya menengahi sengketa lahan pemakaman di Kampung Pasar Lama, Desa Cileungsi. Meski Kompasiana sudah memblokir penulis, namun pengunjung masih bisa membaca tulisan tersebut. Tulisan yang sama juga diunggah di insobinvolvot.wordpress.com dan bogorupdate.com pada Mei 2020. “Ada musibah bertubi-tubi. Saya harus bersabar,” ujar Iin.
Hingga Mei 2022, Iin sudah dua kali diperiksa oleh polisi. Ia mengaku masih berupaya melakukan mediasi dengan pelapor. “Namun tidak ada jawaban. Pelapor tidak ada itikad damai,” ungkapnya.
Sementara mediasi yang dilakukan polisi pun tak berbuah damai. Pertemuan di lantai 2 Reskrimsus Polda Jawa Barat yang dihadiri pihak pelapor beserta pengacara dan Iin bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), SAFEnet, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) beberapa waktu lalu menemui jalan buntu. Pihak pelapor berkeras ingin melanjutkan kasus. “Mungkin mereka ingin penjarakan saya,” pungkas dia. (Abdus Somad)