Putusan Bebas Tak Benar-Benar Membebaskan

Dua puluh sembilan Oktober adalah hari paling membahagiakan sekaligus menyedihkan bagi Ervani Handayani (36). Bahagia, karena ia dan Alfa Janto—melangsungkan pernikahan di tanggal dan bulan yang sama pada 2009 silam. Sedih, karena perayaan ulang tahun pernikahan ia lewati di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIB Wirogunan, Yogyakarta. “Saat penahanan itu adalah hari ulang tahun pernikahan saya ke lima tahun,” ujar Ervani kepada Jaring.id, Rabu, 16 Juni 2021.

Meski sudah hampir tujuh tahun berlalu, Ervani masih ingat persis bagaimana ia dihakimi karena menumpahkan amarah tentang pemecatan suami dari Jolie Jogja Jewellery di Yogyakarta. “Iya sih Pak Har baik. Yang nggak baik itu yang namanya Ayas dan SPV lainnya. Kami rasa dia nggak pantas dijadikan pimpinan Jolie Jogja Jewellery. Banyak yang lebay dan masih labil seperti anak kecil!” tulis Ervani di laman Facebook pada Jumat, 15 Maret 2014 atau sehari setelah perusahaan menyodorkan dua pilihan sulit bagi suaminya, yakni mutasi ke Cirebon atau mengundurkan diri dari perusahaan.

Karena tulisan itu, Ervani dilaporkan oleh Ayas pada Juni 2014. Ervani dianggap melanggar Pasal 27 Ayat 3 serta Pasal 45 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik serta Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana 6 tahun. “Saya dituduh mencemarkan nama baik seseorang,” ujar Ervani.

Sepuluh hari setelahnya Ervani menerima surat dari Polres Bantul. Surat tersebut diterima oleh orang tuanya, kemudian diteruskan ke Ervani melalui pesan Whatsapp. Isinya mengenai jadwal pemeriksaan Ervani pada 9 Juli 2014. Hari itu, Ervani kaget lantaran langsung ditetapkan sebagai tersangka. “Saya belum di BAP, tapi mengapa saya sudah ditetapkan sebagai tersangka,” ungkap Ervani tak kuasa menahan sedih mengingat masa itu.

Perempuan kelahiran Bantul ini mengaku sudah melakukan pelbagai cara untuk menyelesaikan masalah melalui mediasi. Mulai dari berkunjung ke rumah maupun tempat kerja pelapor. Sampai melayangkan surat permohonan maaf. Tapi semua itu sia-sia. Kunjungan Ervani tidak pernah diterima, surat pun tak berbalas. “Malah ada semacam tekanan yang saya terima waktu saya bertemu orang tuanya,” ujarnya.

Akhirnya mulai 29 Oktober 2014, Ervani ditahan oleh Kejaksaan Bantul selama 20 hari. Penahanan dilakukan karena pihak Kejaksaan khawatir Ervani melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. “Saya tidak tahu apa yang menjadi kesalahan saya. Saya seperti diperlakukan seperti penjahat. Padahal saya tidak pernah melakukan kejahatan,” ungkapnya menanggapi keputusan jaksa saat itu.

Dalam proses itu, Ervani menceritakan bahwa momen paling buruk ialah ketika diantar menggunakan mobil tahanan ke lapas. Saat itu ia merasa tengah berada pada titik terendah, baik fisik maupun psikis. Hasil tekanan darahnya melonjak hingga mencapai 160 mmHG. Angka tersebut melebihi batas normal yakni 90-120 mmHG. “Saya langsung drop. Saya tidak berhenti menangis, padahal saya bukan orang yang suka menangis. Saya menangis sampai menjerit-jerit,” ceritanya.

Sidang perdana Ervani diadakan pada Selasa, 11 November 2014 di Pengadilan Negeri Bantul. Dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum, Dany Prasoko dan Supriyadi menganggap Ervani melakukan perbuatan yang melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE Nomor 11/2008, jo pasal 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan atau menista dan menyerang kehormatan serta mencemarkan. Sementara di luar persidangan, masyarakat punya pendapat berbeda. Ratusan orang menggelar unjukrasa sembari membawa spanduk dan pelbagai macam poster yang menyatakan bahwa Ervani tidak bersalah. Sebagian besar dari mereka mengenakan ikat kepala berwarna putih bertuliskan ‘Bebaskan Ervani’

Seminggu berselang, tepatnya pada sidang ke-2, majelis hakim mengabulkan penangguhan penahanan terhadap Ervani. Kurang lebih ada sekitar 100 orang yang menjamin penangguhan Ervani saat itu. “Saya merasa tertekan di penjara,” ucapnya. Tapi berada di luar tahanan ia baru tersadar kalau tidak sendiri. Tidak sedikit orang yang mendukungnya, termasuk media massa yang memuat praktik buruk penggunaan UU ITE untuk memenjarakan orang yang mengeluh di media sosial. “Saya terenyuh dengan kehadiran mereka. Saya berhutang budi dengan warga yang mendukung saya sepenuhnya,” kata Ervani.

Sampai Senin, 5 Januari 2015, Ervani telah mengikuti 12 kali persidangan. Hari itu menjadi kado baik untuknya. Ketua Majelis Hakim Sulistyo M. Dwi Putro dengan tegas memutuskan bahwa Ervani tidak melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan. Pernyataan yang ditulis di akun Facebooknya tergolong kritik alih-alih pencemaran nama.

“Menyatakan terdakwa Ervani Emy Handayani binti Saiman tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan pertama, kedua atau ketiga. Membebaskan terdakwa karena itu dari semua dakwaan tersebut. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya,” begitu petikan putusan hakim yang begitu melegakan Ervani.

Keputusan itu sesuai dengan keterangan tiga saksi ahli yang dihadirkan tim penasihat hukum, antara lain Aprinus Salam selaku ahli bahasa, Aloysius Wisnubroto sebagai ahli hukum pidana telematika dan Henry Subiakto dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. “Kalau dilihat kronologinya, unggahan Ervani ini hanya keluh kesah yang berbau kritik,” ucapan Aprinus Salam pada 1 Desember 2014.

Ahli bahasa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menguraikan bahwa kata “lebay” yang saya tulis merupakan istilah populer di kalangan anak muda yang tidak berarti penghinaan. Begitu pula dengan istilah “labil” maupun “seperti anak kecil.” Karena itu, dia menilai penggunaan istilah itu tidak ada yang mengarah pada pencemaran nama baik. “Hanya sebatas pada kritik lunak,” tegasnya saat itu.

Sementara, Henry Subiakto menilai unggahan Ervani lebih kepada opini, sehingga tidak dapat dika

tegorikan sebagai pencemaran nama baik. Sedangkan Aloysius Wisnubroto bilang bahwa media sosial punya mekanisme sendiri untuk menyelesaikan persoalan. Artinya, jika suatu unggahan dianggap menyudutkan, maka seharusnya tidak diselesaikan di luar media sosial. Media sosial seperti Facebook maupun Twitter, katanya, telah menyediakan ruang untuk menyanggah. “Facebook misalnya. Di bawahnya kan ada space untuk komen,” ungkapnya di hadapan majelis hakim.

Jaksa penuntut yang tidak puas dengan putusan hakim saat itu sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA), tetapi berakhir dengan penolakan. “Hakim mendengarkan suara rakyat. Kita tidak punya kuasa, tidak punya harta. Alhamdulillah hakimnya bijak,” ujar Ervani.

Namun belakangan Ervani menyadari bahwa keputusan lembaga peradilan terkadang tidak benar-benar membebaskan. Sekali dipenjara, kata Ervani, seseorang yang pernah berurusan dengan hukum tidak akan lepas dari stigma buruk. Ia pernah mengalami sendiri bagaimana pahitnya distigmatisasi. Saat itu, ia pernah disodorkan halaman depan koran yang sempat memuat wajahnya. Itu sebab, ia berharap Pasal 26 UU ITE terkait hak untuk dilupakan (right to be forgotten) segera dapat diimplementasikan. “Ini memang sulit dilupakan karena melekat dalam diri saya. Mau tidak mau saya harus berkata jujur ke anak dan orang-orang yang tidak saya kenal,” ujar Ervani sembari mengusap air matanya.

Yang lebih buruk, menurutnya, proses hukum melalui UU ITE ini berimbas pada kemerdekaannya berpendapat. Saat ini, ia mengaku tidak lagi bisa secara leluasa berpendapat maupun memilih jaringan pertemanan melalui medsos. “Saya tidak ingin pengalaman pahit yang sudah saya kubur dalam-dalam malah merangkak naik karena kesalahan saya sendiri,” ujarnya. (Abdus Somad)

 

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Empat Tahun Menunggu Kepastian Hukum
Perjanjian Gadai Mentah di Hadapan UU ITE
Sampai Presiden Anulir Jerat UU ITE
Saat Ahli Pidana Dijerat Pidana
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!