Sebuah pesan WhatsApp diterima Riski Afif Ishak pada siang awal Desember 2020. Di layar telepon genggamnya tertera nama pengirim yang tak asing. Ia adalah seorang kawan lama yang kini tinggal di Kendari, Sulawesi Tenggara. Jaraknya sekitar 222 kilometer dari Kota Baubau, tempat Riski tinggal. Dalam pesan itu tertulis bahwa wajah Riski terpampang di koran Kendari Pos. Kepolisian Daerah Sultra mencari keberadaan Riski yang telah masuk daftar buronan polisi (DPO). “Saya kaget melihatnya,” ungkapnya kepada Jaring.id, Sabtu, 5 Maret 2022.
Dalam surat bernomor DPO/4/XII/2020/Ditreskrimsus yang diteken pada 11 Desember 2020, polisi menganggap Riski tidak kooperatif karena telah mangkir dua kali dari pemanggilan pemeriksaan. Panggilan pertama dilayangkan pada 30 November, sedangkan yang kedua dikirimkan langsung beserta surat perintah penahanan bernomor S.Pgl/480.a/XII/2020 Dit Reskrimsus ke kediaman Riski pada 4 Desember 2020. “Hingga tenggat waktu yang patut dan wajar pemohon tidak memenuhi panggilan kedua tersebut dan tidak diketahui lagi keberadaanya,” demikian tertulis dalam surat keputusan Mahkamah Agung Nomor 4/Pid.Pra/2020/PN Baubau.
Penetapan Riski sebagai buruan polisi hanya berselang seminggu setelah ia mengajukan prapradilan atas penetapan tersangka dugaan kasus pencemaran nama baik A.S Tamrin, Walikota Baubau saat itu. Riski dianggap melanggar Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik lantaran mengunggah berita dari potretsultra.com di beranda Facebook-nya pada 21 Agustus dua tahun lalu. “Sekali panggilan, saya lalu ditetapkan sebagai DPO,” tuturnya.
Padahal, menurut Riski, berita berjudul “Soal Dugaan Korupsi TPI Waweo, KNPI Desak Jaksa Segera Periksa Walikota Baubau” yang ia unggah sama sekali tidak bermaksud mencemarkan nama baik. Terlebih unggahannya tersebut tidak disertai komentar miring. Alasan ini pula yang sempat ia sampaikan ke penyidik dalam pemeriksaan 11 September 2020 lalu. Saat itu, penyidik mencecarnya sebanyak 28 pertanyaan selama lebih dari 12 jam. Pemeriksaan dilakukan di tiga tempat berbeda, mulai dari ruang penyidik, aula, hingga ruang rapat Kepolisian. “Tekanan maupun intimidasi di dalam (proses pemeriksaan) saya dapatkan,” ucapnya.
Sejak saat itu, Riski merasa ruang kebebasannya mulai terenggut. Ia tak lagi bisa beraktivitas dengan tenang, bergaul pun rasanya was-was. Bahkan ia merasa tidak nyaman tinggal di rumahnya sendiri. Orang tak dikenal kerap hilir mudik di sekitar rumahnya. “Rumah sampai dikepung Kepolisian. Ini berlebihan,” ujarnya.
Cerita Sejenis:
Bahkan salah seorang keluarganya sempat menemukan alat berbentuk seperti microphone dengan tanda lampu berwarna merah di ruang keluarga lantai dua. Lampu dari alat yang dicurigai sebagai penyadap itu berkedip setiap detik. “Itu dikonfirmasi keluarga saya. Itu banyak yang lihat. Alatnya kecil,” ujar Riski.
Itu sebab Riski merasa tidak punya pilihan lain selain pergi dari rumah sembari menunggu putusan praperadilan. “Bekal yang dibawa hanya baju di badan dan uang. Saya melepas handphone karena takut terdeteksi,” ungkap Riski. Selama lebih dari 22 hari, sejak 3 – 25 Desember, Riski berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran polisi. Mulai dari menginap di rumah kerabat, sampai mendaki ke daerah perbukitan. Selama itu pula ia sering merasa sulit tidur dan kelaparan. “Berat badan turun. Sudah kurus, berat badan juga turun. Susah makan. Saya kepikiran terus,” ucap Riski.
“Paling tidak enak adalah ketika diambil kebebasannya. Apapun yang dilihat selalu saya merasa tidak aman. Tidak enak di dunia itu setelah kebebasan saya diambil. Itu yang paling susah jadi DPO,” ia menambahkan.
***
Kasus yang menjerat Riski bermula dari upaya organisasinya, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) mendorong pengungkapan dugaan korupsi di Tempat Pengelolaan Ikan (TPI) Wameo, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Organisasi ini tidak asal bicara. Mereka mengendus adanya dugaan penyelewengan dana retribusi dengan merujuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2018. “Kami tertarik menelusuri karena TPI ini selalu mengalami kebocoran setiap tahunnya,” ujar Riski.
Kajian tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan membuat laporan ke Kejaksaan Negeri Bau-Bau Nomor 14/A/KNPI-BB/VII/2019. KNPI menilai walikota Baubau dapat dimintai tanggung jawab karena tidak melakukan kontrol atas pengelolaan retribusi TPI. Dasar hukum yang digunakan KNPI saat itu ialah Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan dan Peraturan Walikota Nomor 95 tahun 2017 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi, Serta Tata Kerja Sekretariat Daerah Kota Baubau.
Alih-alih menjelaskan kepada publik mengenai dugaan kebocoran dana di TPI Wameo, Abdul Sajid Thamrin malah mengadukan Riski ke Polres Baubau. Riski dianggap melakukan pencemaran nama sesuai Undang-Undang ITE pada 23 Juli 2019. Tapi karena laporan tersebut tidak disertai bukti yang cukup kuat, maka Polres Baubau tidak memproses laporan tersebut. “Pencabutannya awal Desember 2019. Menurut Polres Baubau itu tidak memenuhi unsur sampai dengan dicabut,” ujarnya.
Tujuh bulan berselang, Riski kembali dilaporkan ke polisi pada Juli 2020. Kali itu Thamrin tidak lagi melaporkan ke Polres Baubau, melainkan langsung ke Polda Sulawesi Tenggara. Pelapor bermodal tangkapan layar (screenshot) Facebook milik Riski. “Saya diminta mengajukan permohonan maaf,” ujar Riski. Tapi mahasiswa S2 di Universitas Jayaba Sultra ini menolak permintaan itu karena merasa tidak bersalah. Ia memilih untuk mengikuti proses hukum. ”Setelah itu saya menjadi tersangka,” lanjutnya.
Surat penetapan tersangka dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara bernomor SP.Gil/08/X/2020/Dit.Reskrimsus diterima Riski pada Senin, 26 Oktober 2020. Surat itu ditandatangani oleh Komisaris Besar Heri Tri Maryadi, Direktur Reskrimsus.
Pada November 2020, Riski bersama sejumlah pengacara mengajukan gugatan praperadilan terhadap status tersangkanya ke Pengadilan Negeri Baubau. “Keluarga terpukul. Mereka mendampingi saya. Mereka keliling mencari solusi. Pada akhirnya keluarga menyerahkan untuk melakukan perlawanan hukum,” ujar Riski dengan suara bergetar. Tagar ‘saverisky’ pun sempat mencuat ramai di jejaring sosial media sejak 30 Oktober hingga awal November 2020.
Setelah melalui beberapa kali persidangan, Senin, 28 Desember 2020 lalu, Hakim Tunggal PN Baubau, Achmad Wahyu Utomo mengabulkan gugatan Riski. Hakim memutuskan bahwa penetapan status tersangka dan DPO tidak sah secara hukum. “Kasus itu dianggap kedaluwarsa oleh PN Baubau,” kata Riski.
Meski begitu, dua bulan lebih sejak keputusan pengadilan, Riski mengaku belum mendapat konfirmasi pencabutan namanya dari daftar DPO. Riski mengaku tidak bisa mengonfirmasi langsung statusnya tersebut kepada Polda Sultra karena jarak Kendari dan Baubau bisa mencapai 12 jam perjalanan darat. “Status DPO belum terkonfirmasi di Polda Sultra. Saya belum terima ada info pencabutan DPO saya,” ucap dia.
“Praperadilan sudah menang. Saya berhadap ada kepastian pencabutan DPO,” lanjutnya.
Ia pun meminta agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera merevisi pasal karet yang terdapat di UU ITE. Sejak pertengahan Desember 2021 Presiden Joko Widodo telah mengirimkan surat presiden (Surpres) ke DPR. Namun DPR belum juga membahas rancangan revisi UU tersebut. “Saya mendukung perbaikan terhadap UU ITE. Saya tidak mau ada yang kena UU ITE lagi,” pungkasnya.
Selama UU ITE belum direvisi, sulit baginya berpendapat di media sosial. Tak jarang ia mewanti-wanti keluarganya untuk tidak sembarangan mengungkapkan pendapat dan ekspresi di medsos. “Saya harus berhati-hati menyampaikan pendapat. Kebebasan berekspresi saya memang dipantau ketat. Saya cukup berhati-hati untuk menuangkan komentar tentang pembangunan, politik di Baubau. Saya berhitung kalau bicara itu,” ungkapnya. (Abdus Somad)