Hari-hari Hadapi Depresi Menahun

Tujuh bulan setelah pelaporan dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Anindya Shabrina mengaku sulit mendapat ketenangan. Tubuhnya kerap kali lemas. Sementara pikirannya selalu dibayangi peristiwa yang bermula dari pelecehan seksual pada 2018 lalu. “Saya diagnosis post-traumatic stress disorder,” ujar Anindya kepada Jaring.id, Kamis 21 Oktober 2021.

Gangguan stress pascatrauma (PTSD) merupakan gejala yang muncul setelah seseorang mengalami peristiwa tidak menyenangkan. Anin—sapaan akrabnya, mengaku gelisah ketika mendengar sirene dan melihat seseorang berpakaian seragam polisi. “Saya disarankan untuk hipnoterapi,” katanya.

Kondisinya bertambah buruk ketika Desember 2020 lalu menjalani pemeriksaan psikologis. Psikiater menilai Anin tidak hanya menderita PTSD tetapi juga mengalami gangguan depresi mayor (MDD). “Masalah lama menjadi menumpuk dan kemudian meledak. Memori ingatan alami penurunan,” ucap dia.

Karena itu ia harus mengonsumsi obat khusus gangguan kesehatan mental. Sudah hampir satu tahun ini ia menenggak obat tersebut. Dikonsumsi tiap hari menjelang tidur. “Kalau tidak minum obat tidak bisa tidur selama tiga hari,” ungkap Anindya.

Obat yang Anindya konsumsi tidak gratis. Dalam sekali healing Anin harus membayar lebih dari Rp 1.000.000. Sementara dalam satu bulan, ia harus memeriksa kondisi kesehatannya sebanyak dua kali. Selama itu pula ia harus menebus obat dan membayar jasa dokter. “Dampak UU ITE ini ada dampak kerugian material dan nonmaterial yang saya rasakan,” ujar Anindya. Untuk bisa sembuh, dokter yang merawatnya menyampaikan jika Anindya butuh waktu bertahun-tahun untuk pulih. ”Sembuhnya lama,” ujarnya.

Peristiwa yang mengakibatkan trauma berkepanjangan itu bermula pada saat Anindya menghadiri undangan diskusi yang diselenggarakan oleh Aliansi Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10 Tambaksari, Surabaya, Jumat, 6 Juli 2018. Hari itu sekitar Pukul 20.30 WIB. Camat Tambaksari bersama aparat gabungan, Kepolisian dan TNI, juga Satpol PP Kota Surabaya mendatangi asrama mahasiswa Papua. Mereka beralasan hendak melaksanakan operasi yustisi terhadap warga luar Surabaya.

Anindya bersama rekannya, Isabella didampingi oleh Muhammad Soleh pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya lalu menanyakan surat tugas pelaksanaan operasi yustisi tersebut. Namun, aparat tak dapat menunjukkan surat tugas. Saat dialog, suasana berangsur makin tak kondusif. Sebab orang-orang yang tak terlibat dialog meneriakkan pelbagai macam hujatan. Setelah Isabela dan Soleh diseret paksa menjauh dari pintu Gerbang Asrama. Anin diperlakukan serupa sembari dibentak dengan kata-kata kasar. Bahkan ia mengalami pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh polisi. Anin mengaku payudara sebelah kanannya diremas ketika diseret beramai-ramai.

Tak terima dengan perlakukan aparat, Anin kemudian mengambil telepon genggamnya sembari membuka laman akun Facebook. Di sana ia mengunggah kronologi intimidasi, tindak kekerasan dan pelecehan yang menimpa dirinya. Pengakuan daring ini yang kemudian viral dan dibaca ribuan kali dalam kurun waktu sehari. “Kejadian pelecehan itu ada. Kalau mau cek CCTV rumahan di dekat asrama saat hari kejadian pasti ketahuan pelakunya,” kata Anindya.

Pada 9 Juli 2018, Anin bersama pengacara publik dari LBH Surabaya melaporkan sejumlah polisi kepada Propam Polda Jatim dengan Nomor Surat 133/SK/LBH/VII/2018. Antara lain Prayitno yang saat itu menjabat Kapolsek Tambaksari Kota Surabaya dan Kombes Pol Rudi Setiawan Kapolrestabes. Dalam operasi yustisi para polisi diduga melanggar kode etik, serta adanya tindak pelecehan.

Meski begitu, Kepolisian Surabaya tidak menangani kasus Anindya sebagai korban pelecehan seksual. Anin justru menjadi pihak yang dilaporkan atas dugaan melakukan tindak pidana. Pelapornya adalah Ketua Ikatan Keluarga Besar Papua Surabaya (IKBPS) Pieter F. Rumaseb—yang belakangan diketahui bekerja sebagai Satpol PP. “Saya tidak kenal siapa pelaporanya. Sampai sekarang juga saya tidak tahu dia siapa,” kata Anindya.

Pada 16 Agustus 2018, pihak Polrestabes Surabaya menerbitkan surat perintah penyidikan bernomor Sprin-Lidik/1886/VII/Res 2.5/2018/Satreskrim, tanpa meminta keterangan dari Anin. Anin dituduh melakukan pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 ayat 3 UU ITE jo. Pasal 45 ayat 3 UU ITE dan menyebarkan kebencian sesuai Pasal 28 ayat 2 jo. Pasal 45A ayat 2 UU ITE.

Lima hari berselang, rumah Anin didatangi dua polisi. Tepatnya pada Selasa, 21 Agustus 2018. Salah satu dari polisi itu membawa surat tembusan sesuai surat perintah dimulainya penyidikan. Surat itu berasal dari Polrestabes Surabaya yang ditujukan ke kepala Kejaksaan Negeri Tanjung Perak Surabaya. Anindya mendapat tembusanya karena status dirinya sebagai terlapor. Namun saat itu, Anindya menolak hadir karena tidak mengetahui pemeriksaan dirinya ini dalam kapasitas sebagai saksi atau tersangka. Setelah panggilan kedua yang dilayangkan pada 14 November 2018 Anin baru bersedia memenuhi panggilan polisi.

Selama proses pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) Anin mengaku bolak-balik ditanya seputar pernyataan yang disampaikan di Facebook miliknya. Bahkan dalam pemeriksaan itu penyidik sempat meminta Anin menyerahkan telepon genggam dan akun Facebook miliknya untuk dijadikan barang bukti. Anin tentu saja menolak karena merasa pengakuan saja sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan status yang ia buat. “Masa mau sita akun pribadiku,” ungkapnya mengingat proses pemeriksaan tiga tahun lalu.

Dalam kasus ini Anin diperiksa sebanyak 7 kali. Meski begitu kasusnya tidak pernah selesai. “Statusnya sampai penyidikan, tapi tidak pernah jadi tersangka. Cuma tidak sampai SP3. Sampai sekarang tidak ada tersangka,” ujar Anindya. Namun penghakiman di jagat maya kerap kali Anin terima. Lebih dari setahun ia mengalami doxing berupa penyebaran  informasi pribadi di Twitter, hingga peretasan terhadap email.

Tak jarang ia mendapat ancaman dan teror lewat SMS dan Whatsaap dari nomor tak dikenal. “Bahkan ada ancaman pemerkosaan,” kata Anindya. Nomor yang digunakan untuk mengancam selalu baru dan sulit terdeteksi melalui aplikasi get contact maupun truecaller,” Tidak bisa dideteksi,” lanjutnya.

Puncaknya ialah ketika nomor dari aplikasi pesan Whatsaap yang ia gunakan mengirim pesan berantai bertuliskan “NKRI harga mati” kepada seluruh rekan-rekannya pada pertengahan 2019. “Saya memutuskan ganti kartu setelah lima hari peristiwa itu terjadi,” ungkap dia. Mahasiswa Universitas Narotama, Surabaya ini pun sempat mengajukan cuti kuliah dan tinggal di rumah aman selama beberapa bulan karena ancaman bertubi-tubi tersebut. “Keamanan terancam,” ujar perempuan yang kini menjadi Sekretaris Paguyuban Korban Undang-Undang (PAKU ITE).

Lepas tiga tahun setelah kasusnya digantung polisi, Anin mengaku telah kehilangan kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Setiap kali hendak berpendapat di media sosial, menulis, maupun menyampaikan paparan dalam kegiatan diskusi dan seminar di kampus-kampus, Anin mengaku lebih berhati-hati. “Mau menulis, kritik, nanti takutnya kasusku dinaikan. Masa menunggu kedaluarsa dulu baru bisa menulis,” ujarnya.

Meski ruang geraknya tak lagi leluasa, saat ini Anin bertekad untuk tetap membantu korban UU ITE lain. Kasus yang saat ini ia advokasi ialah dugaan pencemaran nama baik yang menimpa Stella Monica—seorang konsumen yang mengeluhkan kondisi kulit wajahnya di Instagram setelah menjalani perawatan kecantikan di sebuah klinik kecantikan pada Desember 2019. “Saya ingin membantu karena UU ITE mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi,” katanya.

Selama UU ITE belum dicabut, menurutnya, maka akan ada korban lain yang akan dijerat oleh UU bermasalah ini. “Aku ingin pasal-pasal bermasalah dicabut. Saya dan rekan-rekan korban UU ITE akan terus berjuang agar UU itu dicabut,” tekadnya. (Abdus Somad)

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Buntut Panjang Kriminalisasi Sadli
Kian Ngeri Unjuk Gigi
Pencemaran Nama saat Kritik Pencemaran Laut Karimunjawa
Saat Kritik Bupati Datang, ITE Terbilang
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!