Kelulusan Stella Monica dari Universitas Kristen Petra, Surabaya berakhir masam setelah tiga penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Timur mendatangi rumahnya di Desa Wonorejo, Surabaya. Mereka membawa surat penetapan tersangka pada awal Oktober 2020 lalu. “Saya bingung. Kok begini ya?” ujar Stella mengenang urusan hukum pertamanya, setahun yang lalu.
Stella diduga melakukan pencemaran nama baik sebagaimana diatur Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selama enam jam Stela diperiksa di Polda Jawa Timur tanpa pendampingan hukum. “Waktu pulang ke rumah saya langsung down. Saya sempat berpikir mending mati saja. Di mata saya tersangka itu seperti orang hina,” ungkapnya.
Kasus Stella bermula saat ia mengeluhkan kondisi kulit wajahnya di Instagram setelah menjalani perawatan kecantikan di sebuah klinik kecantikan pada Desember 2019. “Saya tidak bermaksud mencemarkan nama baik. Saya sebagai pasien wajar menceritakan di sosmed kalau saya gagal perawatan. Saya kecewa dengan pelayanannya,” ujar Stella.
Karena unggahannya itu Stella menerima dua surat somasi mulai 11 Januari 2020. Stella dianggap mencemarkan nama baik klinik, sehingga perlu mengklarifikasi dan meminta maaf, baik melalui media sosial maupun surat kabal lokal minimal setengah halaman untuk tiga kali penerbitan. Stella diberi waktu hingga 20 Januari untuk melaksanakan semua permintaan perusahaan. Surat kedua datang sehari berselang, 21 Januari 2021. “Saya kaget baca isinya,” ungkap Stella yang mengaku tak mengerti apa itu somasi.
Namun saat itu Stella tidak dapat memenuhi somasi tersebut. Permintaan dari klinik kecantikan, menurutnya, tak masuk akal karena dirinya sebagai konsumen berkeluh kesah di sosial media bukan di surat kabar. Terlebih permohonan maaf di surat kabar membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Saya bilang kalau somasi poin pertama tidak bisa dipenuhi karena baru selesai kuliah. Saya tidak ada uang,” katanya.
Cerita Sejenis:
Meski begitu, Stella mengaku telah berkali-kali mencoba bernegosiasi dengan pihak klinik. Bahkan ia mengunggah video permintaan maaf dengan wajah yang masih terdampak perawatan klinik pada akun Instagram pribadinya. Tapi upaya itu tak berhasil. Pelapor malah meminta Stella untuk menghapus unggahan tersebut. “Saya ingin minta maaf langsung,” katanya.
Tujuh bulan berlalu. Stella berpikir kasusnya sudah tak dilanjutkan. Perempuan yang baru lulus kuliah ini mulai tenang dengan menyibukkan diri berjualan kue di sosial media dan pasar daring. Hasilnya lumayan. Ia mengaku mendapat pesanan yang tidak bisa dibilang sedikit. Namun hari bahagianya itu lagi-lagi terampas ketika pada Kamis, 3 Juni 2020, enam orang dari Cyber Crime Polda Jawa Timur mendatangi rumahnya.
“Ini rumah Stella?” tanya polisi, seperti yang ditirukan Stella.
“Ya,” kata adik Stella yang saat itu membukakan pintu.
“Bisa bertemu dengan Stella?” sembari menunjukkan identitas dari unit Cyber Crime unit 1 Polda Jatim.
“Boleh izin kami masuk?” tanya polisi kembali.
Salah seorang penyidik mengeluarkan surat penyitaan telepon genggam milik Stella untuk dijadikan barang bukti. Awalnya Stella menolak. Sebab ponsel tersebut bukan hanya digunakan untuk berkomunikasi, tetapi juga bekerja sehari-hari. Tanpa itu sulit baginya untuk menjajakan kuenya kepada pelanggan. Ia meminta penyidik agar memberikan waktu dua hari untuk mengabarkan kepada konsumen. Namun permintaan itu ditolak. “Saya blank. Saya tidak menyangka kok bisa sampai ke kepolisian,” ungkap Stella. Pada Jumat, 5 Juni 2021 Stella datang ke Polda Jatim untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
Setiba di Polda Jatim, Stella dicecar sejumlah pertanyaan seputar tudingan pencemaran nama baik selama enam jam. Di sela-sela pemeriksaan itu, penyidik memintanya untuk melakukan mediasi kembali dengan pelapor maupun pihak perusahaan agar kasusnya tak masuk ke meja hijau. Jika tak berhasil, kata Stella, pihak kepolisian akan membantu mediasi. Tak ingin banyak berpikir, Stella menyanggupinya.
Stella bersama kedua orang tuanya menghampiri klinik L’VIORS. Di dalam klinik, Stella memohon agar permintaan maafnya diterima. “Saya ingin bilang minta maaf. Postinganku membuat resah,” ujarnya.
Namun upaya tersebut berujung buntu. Stella ditetapkan tersangka sebelum berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Surabaya. Hingga kini, sudah belasan kali Stella bolak-balik menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya. Awal September 2021 lalu, sidang perkara yang menjeratnya sudah masuk agenda meminta keterangan saksi ahli dari jaksa penuntut umum (JPU). “Aku dalam hati berdoa. Aku jalani saja. Aku yakin Tuhan tak akan meninggalkan kita. Aku berharap hakim bisa adil,” pungkasnya.
Pada Juni lalu, sembari menjalani proses hukum, Stella melayangkan gugatan konsumen ke Balai Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Surabaya. Proses persidangan dilakukan untuk memediasi perselisihan antara konsumen dan produsen. Sejak 5 Juni – 31 Agustus 2021, Stella sudah melalui sebanyak lima kali sidang. Meski begitu, tidak ada titik temu dalam mediasi, sehingga dinyatakan gagal.
Dalam persidangan Majelis BPKS yang berlangsung Selasa, 31 Agustus 2021 menemukan indikasi penggunaan sejumlah obat yang diresepkan kepada Stella diduga tak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Berbekal temuan tersebut Stella bersama Koalisi Pembela Konsumen (Kompak) dan pendamping hukum dari LBH Surabaya, Habibus Solihin memilih melaporkan klinik kecantikan ke Polda Jawa Timur, Jumat 10 September 2021. Pelaporan ini bertolok pada Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 tentang Kesehatan dan Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. “Polisi bilang mau penyelidikan,” ujar Stella.
Stella kini memilih untuk berhati-hati menggunakan media sosial, termasuk pertemanan di jagat maya. Ia tak menyangka daya rusak yang ditimbulkan UU ITE terhadapnya, juga keluarga begitu besar. “Aku dari dulu merasa kok bisa UU ITE bikin psikis orang begitu. Setelah aku mengalami, parah juga,” ungkap Stella.
Stella mengaku tidak hanya mendapat tekanan secara finansial, kondisi psikologisnya pun memburuk. Ia kerap kali dihantui rasa cemas ketika melihat mobil putih berhenti di depan rumahnya. “Setakut itu saya pada mobil putih,” kata dia. Karenanya sejak kasus ini mencuat ia memilih untuk menutup diri dari semua aktivitas dan kegiatan sosial di lingkungannya. “Kalau aku lewat jalan menuju arah klinik itu pikiranku nge-blank,” tambahnya. (Abdus Somad)
Update kasus:
- Pengadilan Negeri Kota Surabaya memutuskan Stella tidak bersalah pada Selasa (14/12/2021). Ia tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik hingga merugikan klinik L’Viors.