Jumat, 2 Agustus 2019 menjadi hari yang tak terlupakan bagi Baiq Nuril Maknun. Mantan pekerja honorer di Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat ini menerima salinan keputusan pemberian amnesti (peniadaan hukuman) dari Presiden Joko Widodo setelah berjuang hampir lima tahun untuk lolos dari jerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2019 tentang Pemberian Amnesti untuk Baiq Nuril tersebut dianggap sejumlah kalangan tidak hanya berguna untuk membebaskan Nuril, tapi juga dapat mendorong korban pelecehan maupun kekerasan seksual berani berjuang mendapat keadilan.
Kasus hukum Baiq Nuril bermula pada tahun 2015 ketika dia dituduh menyebarkan konten pornografi oleh mantan bosnya di sekolah. “Muslim melaporkan saya dengan pasal pencemaran nama baik pada 17 Maret 2015. Saya dianggap melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE,” ujarnya dalam buku berjudul Matinya Kebebasan Berpendapat, Ketika Para Korban UU ITE Bertutur.
Padahal, menurut Nuril, yang melakukan pelecehan justru Muslim—Kepala Sekolah SMA Negeri 7 Mataram. Hal ini terekam dalam pembicaraan telepon berdurasi sepanjang 20 menit. Dalam pembicaraan yang dilakukan medio Agustus 2012 itu, Muslim menceritakan bagaimana dirinya melakukan tindakan vulgar bersama perempuan yang bukan isterinya. “Saya memberanikan diri untuk merekam obrolan dengan Muslim. Yang saya pikirkan saat itu ialah hendak menjadikan rekaman tersebut sebagai senjata pamungkas untuk membela diri,” ungkap Nuril.
Sebab selama menjadi bawahan Muslim di sekolah, Nuril kerap mendapat perlakuan yang cenderung merendahkannya sebagai perempuan. “Hampir setiap hari saya dipanggil ke ruangan kepala sekolah,” ujarnya. Akibatnya, tidak sedikit dari rekan kerja di sekolah yang menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan Muslim. “Dalam budaya patriarkal, perempuan selalu disudutkan ketimbang laki-laki kalau menghadapi urusan semacam itu. Jadi saya putuskan untuk merekam pembicaran tersebut, tapi sungguh bukan saya yang menyebarkan percakapan itu kepada orang lain,” lanjutnya.
Menurut Nuril, rekaman yang sudah tersimpan selama 2 tahun lebih di telepon genggamnya diminta oleh Haji Imam Mudawin. Data berupa rekaman suara tersebut kemudian dipindahkan dari ponsel ke laptop oleh Imam. Dalam proses ini, Nuril sama sekali tidak terlibat. Baru belakangan Nuril tahu bahwa rekaman itu tersebar luas hingga ke Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Mataram.
Karena fakta ini, pada 27 Juli 2017, Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Nuril dari tuntutan sebagai penyebar konten asusila. Namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) membatalkan keputusan PN Mataram. MA memvonis penjara selama 6 bulan dan denda Rp 500 juta pada 28 September 2018. Perlawanan Nuril pun kandas saat MA menolak permohonan peninjauan kembali atas vonis itu.
“Kalau bukan karena penggalangan koin yang digagas kawan-kawan dari Paguyuban Korban Undang-Undang (Paku) ITE dan Safenet lewat situs kitabisa.com, saya sekeluarga sudah pasti tidak bisa mengumpulkan uang sebanyak itu,” ungkap Nuril.
Bahkan sejak kasus ini bergulir, keluarga Nuril sudah mengalami kesulitan keuangan. Ia tak lagi bekerja sebagai tenaga honorer di sekolah. Suami yang sebelumnya bekerja di Gili Trawangan pun memilih pulang ke Mataram untuk mengurus anak-anak selagi Nuril mendekam di tahanan Polres Mataram selama 2 bulan 3 hari. “Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, kami bahkan bergantung pada bantuan dari orang lain. Suami saya sampai menjual televisi di rumah dan gawai miliknya,” kata dia.
Dalam situasi terjepit tersebut, Nuril hampir menyerah pada proses formal hukum. Ia tidak pernah sekalipun membayangkan akan mengajukan amnesti. Sebab ia merasa jalan untuk mendapatkan pengampunan istimewa di negeri ini tidak mudah. Sesuai Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945, amnesti diberikan presiden atas pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Karenanya saya pasrah. Saya hanya bisa mengatakan kepada anak saya bahwa harus sekolah lagi,” ujarnya.
Tetapi karena dorongan tim hukum dan masyarakat, serta keinginan untuk bebas, Nuril memberanikan diri bersurat kepada Presiden Jokowi pada 15 Juli 2019. Ia ditulis kurang lebih sepanjang 1500 kata. Nuril mengawali surat dengan memperkenalkan diri beserta keluarganya, lalu kronologi kasus, kesaksian saksi ahli, keputusan PN Mataram, keputusan MA, dilanjutkan permohonan agar Presiden memberikan amnesti.
“Saya, Baiq Nuril Maknun sangat berterima kasih dan mendukung niat mulia Bapak Presiden Joko Widodo yang akan menggunakan hak prerogatif sebagai Presiden Republik Indonesia untuk menjalankan amanah konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 14 ayat (2), yaitu dengan memberikan amnesti kepada saya, Baiq Nuril Maknun,” demikian surat itu ditutup.
Permohonan itu kemudian disampaikan ke presiden dalam sebuah amplop pada 15 Juli 2019. Isinya tidak hanya surat permohonan yang ditulis Nuril. Rafi, bungsu dari Baiq Nuril pun turut bersurat—tulisannya sempat viral di jagat maya. Menggunakan pena bertinta biru, Rafi meminta agar presiden tidak lagi menyuruh ibunya sekolah. “Kepada Bapak Jokowi, jangan suruh ibu saya sekolah lagi, dari Rafi,” demikian tulis Rafi tanpa tanda baca.
Menurut Nuril, frasa “sekolah lagi” dalam tulisan Rafi merupakan alasan yang pernah ia sampaikan sebelum penyidik Polres Mataram menahannya sebagai tersangka. Saat itu, Nuril merasa tidak mampu untuk berkata jujur. “Saya tidak bisa tidak sedih membacanya. Ada rasa bersalah di sana. Tapi saya tidak punya banyak pilihan. Ada saatnya nanti saya berterus terang kepada anak saya. Sementara saat itu, yang utama ialah bisa segera bebas,” ungkap Nuril. (Debora Sinambela)
Kronologi Kasus Baiq Nuril Maknun
- Maret 2015 dilaporkan oleh Muslim ke polisi dengan tudingan menyebarkan konten asusila sesuai Pasal 27 ayat 1 UU ITE
- 27 Maret 2015 polisi menahan Nuril
- 27 Juli 2017 Pengadilan Negeri Mataram membebaskan Nuril
- 28 September 2018 Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa, sehingga menghukum Nuril selama 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta
- 4 Juli 2019 peninjauan kembali (PK) Nuril terhadap vonis MA ditolak
- 25 Juli Komisi Hukum DPR menyetujui Presiden Jokowi memberikan amnesti kepada Nuril
- 29 Juli 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2019 tentang pemberian amnesti