Guyon yang Berbuntut Panjang

Dua kali dalam sepekan, Wadji, harus mendatangi Kepolisian Daerah Jawa Timur. Jarak antara rumahnya di Malang terbilang jauh. Ada jarak hampir sejauh 100 kilometer perjalanan darat dari Malang ke Surabaya. Jadi dalam seminggu, Wadji mesti menempuh perjalanan darat sekitar 400 kilometer atau 20.800 kilometer dalam setahun. “Berapa puluh liter bensin, waktu dan tenaga yang sudah habis di jalanan karena wajib lapor? Sudah tidak terhitung,” ucapnya. 

Sejak Oktober 2018, ia ditetapkan tersangka kasus pencemaran nama. Tapi alih-alih menjalani persidangan, kasus Wadji malah digantung polisi hingga satu tahun dan mengenainya wajib lapor. “Hidup selama setahun dalam ketidakpastian hukum itu sangat menyiksa. Saya sempat berpikir bahwa ada kesengajaan dibuat tersiksa lewat wajib lapor agar waktu saya terbuang sia-sia, sehingga tidak bisa mengembangkan karier,” ia menambahkan.

Baru pada 24 September 2019 kasus Wadji bergulir di Pengadilan Negeri Malang. Jaksa mendakwa Wadji melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena mencemarkan nama baik organisasi profesi guru, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Empat bulan berselang, yakni pada 27 Januari 2020, dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang ini dianggap bersalah, sehingga dihukum 3 bulan penjara, denda 10 juta subsider 1 bulan oleh Majelis Hakim yang diketuai Sri Hariani. 

Vonis tersebut kemudian diperberat Hakim Pengadilan Tinggi Surabaya yang dipimpin Rasminto dengan anggota Winaryo dan P.H menjadi 5 bulan penjara pada 27 April 2020. “Sejak pengadilan tingkat kedua hingga kasasi, saya tidak didampingi pengacara. Dalam pengadilan pertama pun, naskah eksepsi dan pledoi saya buat sendiri,” ungkap Wadji. 

Meski begitu, Wadji mampu menunjukkan bahwa ia tidak bersalah. Mahkamah Agung (MA) membebaskan Wadji dan menolak kasasi yang diajukan JPU pada 3 Maret 2021. Ketua Majelis Sofyan Sitompul dengan anggota Brigjen TNI Sugeng Sutrisno dan Hidayat Manao menganggap bahwa apa yang dilakukan Wadji bukan bagian dari penghinaan. Sebab pasal defamasi harus menyerang orang, bukan organisasi. 

Mendengar keputusan ini tentu Wadji senang bukan kepalang. Satu-satunya penyesalan ialah lamanya proses persidangan. Hingga Mahkamah Agung mengetuk palu awal Maret lalu, Wadji tercatat sudah menghabiskan waktu lebih dari tiga tahun. Mulai Januari 2018 – Maret 2021. “Kadang merasa bosan menunggu dan pandemi membuat semakin berat proses menunggu hanya dalam satu tempat,” ungkap Wadji.

Dalam sidang sebelumnya, sebetulnya Wadji sempat mengungkap sejumlah kejanggalan. Antara lain terkait profesi Wadji yang disebut dosen di Desa Watukosek. Padahal Watukosek merupakan salah satu desa di Kabupaten Pasuruan. “Saya tidak mengajar di Pasuruan dan nama kampus saya adalah Universitas PGRI Kanjuruhan Malang,” kata dia. Kesalah lain ialah saat jaksa menyebut dirinya melakukan tindak pidana korupsi dan mengajukan permohonan kasasi lewat PN Surabaya. Padahal peradilan saat itu terjadi di PN Malang. “Kami hampir berada dalam kondisi antara percaya dan tidak percaya bahwa hakim memutus bebas dari sebelumnya divonis lima bulan penjara,” kata Wadji. 

Sebagaimana dikutip dari dakwaan jaksa di Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri (SIPP PN) Malang, kasus yang menimpa Wadji bermula pada 24 Januari 2018. Saat itu, Wadji mengunggah meme yang berasal dari foto dua dosen Unikama berkepala plontos di Whatsapp Group Kardos Unikama, kependekan dari Karyawan dan Dosen Universitas Kanjuruhan Malang. Ia mengenal baik keduanya. Yang satu bernama Susianto mengampu mahasiswa di Prodi Ilmu Hukum dan satu lagi adalah Selamet Riyadi yang mengajar di Prodi Pendidikan Matematika. Karena kedekatan itu Wadji lalu membubuhi foto tersebut dengan tulisan “Ketua dan Sekjen PGRI (Persatuan Gundul Republik Indonesia).”  

Tak sampai sebulan dari postingan itu, tepatnya pada 21 Februari 2018 Wadji dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur oleh Husin Matamin, Wakil Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) wilayah Jawa Timur. Husin mengklaim bahwa meme yang disebarkan Wadji ke WAG tertutup tersebut telah mencemarkan nama baik organisasi. Husin saat itu bertindak atas nama Ichwan Sumadi yang merupkan Ketua PGRI Jatim. “Keduanya melaporkan tanpa pernah ikut grup Whatsapp Kardos Unikama,” kata Wadji.

Bukti pelaporan yang dibawa Husin berupa tangkapan layar yang dilakukan Nanang Pujiastika, Kepala Badan Administrasi Umum Universitas Kanjuruhan yang juga merangkap admin WAG Kardos Unikama. Dengan mengantongi bukti itu, pihak penyidik menetapkan Wadji sebagai tersangka pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Barangkali selain tanggal kelahiran saya, 24 Januari 2018 adalah hari buruk yang tidak akan pernah terlupakan,” ungkapnya. 

***

WAG Kardos Unikama sebetulnya adalah grup Whatsapp tertutup. Anggotanya hanyalah dosen dan karyawan Unikama. Wadji yang sudah mengajar sejak 1993 tentu ikut bergabung dalam WAG tersebut. “Boleh dibilang saya pegawai cukup senior, untuk tidak menyebut tua,” kata dia.  

Kali pertama Wadji mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Malang. Beberapa tahun kemudian, persisnya tahun pertama milenium ketiga pada 2001, pemerintah memutuskan untuk menyatukan STIBA Kanjuruhan dan IKIP PGRI Malang menjadi Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama). Identitas ini bertahan hingga Desember 2020 sebelum berubah menjadi Universitas PGRI Kanjuruhan Malang. 

Menurut Wadji, perubahan nama itu merupakan imbas dari polemik yang terjadi di kampusnya. Unikama sebelumnya merupakan kampus satu-satunya di bawah Perkumpulan Pembina Lembaga Pendidikan-Perguruan Tinggi Persatuan Guru Republik Indonesia (PPLP-PT PGRI) yang tidak mencantumkan nama organisasi profesi PGRI. Saat itu, organisasi ini tengah menghadapi dualisme kepemimpinan, yakni kubu Christea Frisdiantara dan Soedja’i. 

Kubu Christea beranggapan bahwa selama ini hubungan antara PPLP-PT PGRI dan PGRI sebatas asosiatif. Artinya, kedua organisasi hanya memiliki visi dan misi sama tanpa menyatu dalam satu badan hukum. Dengan begitu, Unikama dapat mengangkat ketua badan penyelenggara sendiri dan bisa mudah menolak intervensi PGRI. Sedangkan Soedja’i beranggapan sebaliknya. PPLP-PT PGRI dan PGRI diklaim punya hubungan struktural, hierarkis, sekalipun keduanya merupakan badan hukum berbeda. “Saya sebetulnya hanya dosen yang tidak tahu apa-apa tentang politik kampus, kemudian menjadi pelanduk dari konflik dua gajah,” ujarnya.

Dualisme kepengurusan kemudian berakhir dengan turunnya surat keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada 5 Januari 2018. Pemerintah mengakui bahwa kepengurusan PPLP-PT PGRI yang sah adalah yang dipimpin oleh Christea Frisdiantara. Dalam kepengurusan ini terdapat nama Susianto sebagai Ketua Badan Pengawas dan Selamet Riyadi sebagai Wakil Ketua Badan Pengurus. “Keakraban saya dengan duo gundul dan Christea langsung dilabeli bagian dari mereka. Saya tidak peduli dengan cap itu. Dalam pikiran saya yang amat awam, sebagai dosen dengan status pegawai negeri sipil saya mengikuti kepemimpinan mana pun yang telah disahkan oleh pemerintah,” ucapnya.

Tapi pada kenyataanya pelabelan ini berbuntut panjang. Selain didepak dari WAG, Wadji pun dilarang mengajar, membimbing skripsi dan melakukan kegiatan Tri Dharma lainnya. “Saya juga dikucilkan dari pergaulan di kampus, diawasi. Bahkan beberapa kali ketika saya akan masuk kampus, mulai dari halaman parkir saya diikuti oleh satpam,” keluhnya.  

Puncak dari pelabelan itu adalah pelaporan ke polisi yang dilakukan pengurus PGRI Jawa Timur. Wadji dianggap telah memelesetkan pengertian huruf G pada singkatan PGRI. Para pengadu mengklaim huruf G dalam PGRI berarti tunggal, yakni Guru, bukan Gundul sebagaimana yang ditulis Wadji. “Saya dilemparkan ke dalam sumur hukum yang gelap dan dalam. Seolah teriakan saya atas segala diskriminasi tidak terdengar oleh siapa pun di atas sana,” umpamanya. 

Jaksa bernama Hanis Aristya Hermawan ngotot menyebut meme yang dibuat Wadji mengandung unsur penghinaan dan pencemaran nama baik organisasi PGRI. Bagi Jaksa, tidak ada pengertian lain selain “Guru” dalam singkatan PGRI. Padahal, menurut Wadji, satu singkatan tertentu tidak bermakna tunggal. Dalam singkatan KPK, misalnya, tidak melulu merujuk pada lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi. Tetapi bisa saja kependekan dari Kedai Pak Karman. “Saya tidak habis pikir, selama puluhan tahun mereka berdiri apakah bisa memastikan tidak ada makna lain dari akronim PGRI,” tanya Wadji.    

Kejanggalan demi kejanggalan yang terungkap dalam sidang, kata Wadji, yang kemudian mengafirmasi dugaan bahwa dirinya cuma “pelanduk yang mati saat dua gajah bertarung.” Sejak awal Wadji meyakini bahwa dirinya dikriminalisasi. Pasalnya, orang yang meneruskan foto duo gundul tak lain ialah pengurus PPLP-PT PGRI kubu Soedja’i. Antara lain yakni Nanang Pujiastika, Husin Matamin dan Ichwan Sumadi. “Maka sampai di sini terang benderang, pengurus PGRI Jatim yang melaporkan saya tak ubahnya kaki-tangan kubu Soedja’i. Mereka memang berniat mengkriminalisasi. Kesalahan dicari-cari. Barang bukti diburu sampai grup Whatsapp yang tertutup sekalipun,” tegasnya. 

 

 Kronologi Kasus Wadji

  • 24 Januari 2018 Wadji mengunggah sebuah meme: dua orang berkepala plontos lalu diberi keterangan ketua dan sekjen PGRI (Persatuan Gundul Republik Indonesia).
  • 21 Februari 2018 Wadji dilaporkan oleh Husin Matamin, wakil ketua Persatuan Guru Republik Indonesia wilayah Jawa Timur dengan dalih mencemarkan nama baik organisasi PGRI.
  • Agustus 2018 Wadji kali pertama diperiksa sebagai saksi.
  • Oktober 2018 ditetapkan menjadi tersangka pencemaran nama baik Pasal 27 Ayat 3 UU ITE.
  • 27 Januari 2020 PN Malang memutuskan Wadji bersalah dan divonis tiga bulan penjara.
  • 27 April 2020 Pengadilan Tinggi Surabaya menaikkan vonis menjadi lima bulan.
  • 3 Maret 2021 Mahkamah Agung mengadili kasasi Wadji nomor perkara 155 K/PID.SUS/2021 memutuskan bebas dan tidak terbukti bersalah.

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Sampai Dua Kali Menjadi Korban
Dipenjara Kala Bersuara Antirasisme
Yang Ditangkap Siarkan Pungli
Sudah Ditipu, Tertimpa UU ITE
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!