Sebagai pramuwisata di Lombok, Furqan Ermansyah tentu tahu siapa Taufan Rahmadi. Sebelumnya, Taufan sempat menjabat Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Provinsi NTB pada 2014-2016. Orang ini lah yang kelak melaporkan Furqan ke polisi pada Desember 2014. Dia dituding mencemarkan nama Taufan lewat tulisan di jejaring sosial Facebook sebagaimana Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Di Facebook, Furqan dikenal sebagai Rudy Lombok—julukan semasa kecil. Ia terbilang aktif di forum diskusi yang sering membahas perkembangan pariwisata di NTB. Maklum saja, karena dia sudah berkecimpung di bidang usaha perjalanan selama puluhan tahun. “Rasa-rasanya tidak adil kalau saya hanya diam,” ujarnya.
Dari sejumlah opini yang ditulis Furqan, tiga tulisan di antaranya dilaporkan Taufan. Salah satunya ialah komentar yang diunggah pada 18 November 2014 terkait pembuatan video perjalanan yang dibiayai BPPD NTB. Ia mempertanyakan alasan situs milik pemerintah daerah, www.bppdntb.com mempromosikan paket wisata dari salah seorang agen pariwisata di Lombok, serta menyoroti perhelatan “Tambora Menyapa Dunia” yang sepi peminat. “Saat itu, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mencemarkan nama baik seseorang,” ucapnya.
Menurut Furqan, konten video promosi yang dibiayai BPPD NTB saat itu lebih menonjolkan profil Taufan Rahmadi ketimbang gambaran mengenai potensi wisata di NTB. “FILM terbaru dengan pemeran utama Taufan Rahmadi diproduksi oleh Institut Film dibiayai oleh Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB. Silahkan ditonton, dengan cerita tentang promosi pribadi bukan tentang promosi pariwisata NTB,” tulisnya di grup Forum Diskusi Membangun NTB beberapa tahun lalu.
Ada lebih dari dua ratus komentar dan puluhan tanda suka terhadap unggahan tersebut. Dengan begitu, Furqan sempat berpikir bahwa apa yang ia bayangkan tentang tata kelola pariwisata sama persis dengan bayangan orang lain. Tapi ternyata tidak. Taufan justru menganggap kritik Furqan lebih menjurus ke fitnah.
Cerita Sejenis:
Furqan ditahan Polda NTB mulai Senin, 11 Mei 2015. “Karenanya saya melewati hari perayaan ulang tahun bungsu yang saat itu berusia 8 tahun. Sedianya hari itu kami sekeluarga hendak makan malam di sebuah restoran siap saji. Namun rencana itu buyar. Penangguhan penahanan yang dilayangkan melalui pengacara ditolak polisi,” ucap Furqan.
Setelah 15 hari berada dalam tahanan, polisi mengizinkannya pulang. “Sembari mewanti-wanti kalau saya wajib lapor dua kali setiap pekan,” katanya. Saat itu, Furqan bingung dengan perubahan sikap polisi. Yang ia tahu saat itu, itu pun berdasarkan keterangan dari isterinya, penangguhan itu diberikan karena kasus Furqan telah disoroti pelbagai pihak. Sejumlah tokoh di Mataram sempat menggalang dukungan untuk menangguhkan penahanan. Mereka antara lain pimpinan Pesantren Nurul Haramain Putri, Hasanain Juaini dan dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Zainal Asikin. Media nasional pun menyoroti daya rusak UU ITE terhadap kemerdekaan berpendapat. Bahkan, televisi lokal menayangkan talkshow berdurasi 60 menit, khusus untuk membahas kasusnya. “Saya tidak tahu persis dan tidak ingin menebak-nebak,” ia menambahkan.
Tapi karena ingin segera menuntaskan masalah hukum, Furqan sempat menolak penangguhan penahanan. “Terus terang, saya tidak ingin melewati hari-hari sambil menenteng status hukum yang belum jelas. Saya ingin segera masuk persidangan,” tegasnya. Tapi karena didesak salah seorang polisi, Furqan tak punya banyak pilihan selain mengiyakan.
Masa penangguhan penahanan tersebut ternyata tak berarti banyak buat Furqan. Baginya, penangguhan itu ibarat hanya menggesernya ke sebuah halaman dari penjara yang amat luas. Saat itu, ia kesulitan mencari nafkah. Cap tahanan kota dan dikenai wajib lapor selama lebih dari 8 bulan sangat berat baginya untuk melakukan kegiatan sebagai pramuwisata. Akibatnya penghasilan perbulanannya pun terpukul. Semula ia bisa mengantongi Rp 8 juta per bulan. Tapi karena status hukum yang tidak jelas, beroleh Rp 1,5 juta pun ia sudah bersyukur. “Saya berterima kasih kepada isteriku, Murni Hayanti Fatimah yang bersedia memikul beban dengan berjualan. Yang paling sulit dilakukan ialah mengerem untuk tidak mengkritik. Dan itu lah hukuman sesungguhnya dari UU ITE, buatku,” ungkap Furqan.
Pada Kamis, 7 Januari 2016, Furqan dinyatakan bersalah melakukan pencemaran nama. Ia dihukum penjara selama 10 bulan. Vonis ini kemudian diperkuat dengan putusan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 384 /Pid.Sus/2015/PN Mtr. Hakim menganggap Furqan bersalah karena dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik. “Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali jika dikemudian hari ada putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan selama 1 (satu) tahun berakhir,” demikian petikan putusan MA.
“Dari kasus ini, saya memahami satu hal yang sangat penting, yakni di media sosial kita selalu menghadapi hal yang tidak kita maksud,” ujarnya.
Menurut Furqan, UU ITE tidak diciptakan untuk mempertimbangkan benar atau salahnya sebuah pendapat. Tapi selama ia disampaikan melalui media sosial, maka tangkapan layar (screenshot) sudah lebih dari cukup untuk dijadikan bukti menyeret seseorang ke dalam penjara. “Dan yang paling saya sesalkan ialah justru kasus ini menjadi preseden di NTB,” kata dia.
Berdasarkan catatan SAFEnet – Southeast Asia Freedom of Expression Network, jumlah kasus yang melibatkan UU ITE di NTB mencapai 40. Bahkan dikutip dari laman kominfo.go.id, Menteri Komunikasi dan Informatika sebelum Johnny G. Plate, Rudiantara pernah mengungkapkan bahwa pelanggaran ITE di NTB yang berujung pada kasus hukum termasuk yang tertinggi di Indonesia. Dari 207 kasus pelanggaran selama 2016, NTB menyumbang 86 kasus. Setelah NTB, ada Makassar dengan 50 kasus.
Salah satu kasus yang mendapat sorotan publik ialah Baiq Nuril Maknun. Kalau tidak ada Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti, guru yang mengalami pelecehan seksual itu harus dipenjara selama 6 bulan dan denda sebanyak Rp 500 juta. Saat itu, Mahkamah Agung (MA) menilai bahwa Baiq pantas menerima ganjaran kurungan karena telah merekam percakapan mesum Kepala SMAN 7 Mataram saat itu, Haji Muslim. “Saya meyakini kasus-kasus semacam ini akan terus berlanjut, bilamana pemerintah tidak segera menghapus pasal-pasal karet dalam UU ITE,” pungkasnya. (Kholikul Alim)
Data kasus:
- Terbukti bersalah mencemarkan nama baik sesuai Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tetang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 384/Pid.Sus/2015/PN Mtr
- Sekalipun dihukum pidana penjara selama 10 bulan, Furqan Ermansyah tidak menjalani masa pemidanaan