Kritik Kenaikan Biaya Kuliah, Mahasiswa Unri Diadukan Rektor ke Polisi

Selembar poster berisi dukungan terhadap Khariq Anhar disebarkan bersamaan dengan pembukaan Musyawarah Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di Aula PKM Kampus Gobah Unri pada awal Mei 2024 lalu. Khariq adalah Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Riau (Unri) yang dilaporkan ke polisi oleh Rektor Sri Indarti setelah mengkritik kenaikan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) melalui media sosial. “Diobral pendidikan kampus Universitas Riau, kali ini khusus 2024 kami punya banyak beberapa penawaran istimewa,” kata Khariq dalam penggalan video.

Video berdurasi 35 detik itu diunggah melalui akun Instagram @aliansimahasiswapenguggat pada 6 Maret 2024. Isinya menyoroti kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di Unri. Para mahasiswa menganggap kenaikan itu tak wajar lantaran kenaikannya hingga dua kali lipat. “Kami tidak langsung mengunggah konten,” jelas Khariq saat dihubungi oleh Jaring.id, Sabtu, 21 September 2024.

Menurutnya, pihak rektorat sebelumnya diundang untuk menjelaskan ihwal kenaikan biaya kuliah lewat diskusi terbuka bertajuk “Uang Pangkal dan PTN BH dalam Perspektif Rektorat Unri.” Namun, mereka tidak datang.

Nah setelah dari diskusi itu kami bikin propaganda atau kampanye soal kenaikan UKT di mana di situ kami buka lapak jualan almet, cuma ada kalimat yang menjadi problematik itu nama rektor kami sebut broker pendidikan,” kata Khariq.

Sebutan itu dilekatkan kepada pihak rektorat bukan tanpa alasan. Sebab, menurut Khariq, pihak rektor lah yang meneken surat keputusan Nomor 496/ UN19/ KPT/ 2024 pada 15 Februari 2024. Dalam keputusan itu tertera 21 prodi di Unri yang menjadi sasaran kebijakan baru tersebut. “Akibatnya, jumlah UKT kami sampai Rp6 juta, lalu dari kenaikan UKT rata-rata sampe Rp13 juta bisa dibilang kenaikan UKT-nya 100 persen karena dia naiknya dua kali lipat. Dari Rp7.200.000 menjadi Rp13.800.000. Di beberapa prodi khusus, seperti kedokteran bisa sampai Rp 38 juta,” ia merinci.

Lepas seminggu, Kharis dan kawan-kawan mendengar akan adanya sidang etik yang mempertimbangkan skorsing maupun pemecatan (dropout). “Terus kami naikkan ke medsos bahwa kami menolak sidang etik. Kami mau kawan kami tidak di sidang dan tidak dikenakan skorsing,” kata dia. Alih-alih mendengar aspirasi mahasiswa terkait kenaikan biaya kuliah, Sri indarti malah melaporkan Khariq ke Ditreskrimsus Polda Riau atas dasar tuduhan penyerangan terhadap nama sesuai Pasal 45 (4) Jo Pasal 27A UU Nomor 1 TAHUN 2024 tentang UU ITE pada 15 Maret 2024.

Menurut Khariq, proses hukum terhadapnya dimulai lima hari setelah pelaporan. Saat itu, polisi mendatanginya tanpa mengenakan seragam dinas. “Awalnya di telpon kan sama pos. Katanya mau antar surat dari Kepolisian, tapi rupanya waktu datang ada berdelapan itu polisi semua tak pakai baju formal. Terus diajak duduk, disampaikan kalau ada laporan dan jangan dibilang sama siapa-siapa nanti datang aja ke kantor, begitu katanya,” cerita Khariq.

Dalam surat itu tertera bahwa Khariq mesti menemui penyidik pada tanggal 23 April. “Habis itu di bulan April, karena tidak ada kejelasan kami advokasi kan apakah ini bakal dilanjutkan sama rektor atau tidak,” lanjutnya.

Setelah berkali-kali berkomunikasi dan meminta agar pihak rektor mencabut laporan polisi hasilnya nihil, para mahasiswa memutuskan untuk memposting kembali konten-konten yang telah dibuat Serikat Mahasiswa Indonesia. Sementara pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyoal kriminalisasi rektor Unri kepada mahasiswa.

“Dari situ bergulir lah kasusnya, lalu sempat ada demo juga, tapi baru dicabut tanggal 12 Mei 2024 dan selesai dengan kekeluargaan atau mediasi. Hanya saja di internal kampus masih banyak tekanan yang diberikan,” keluhnya.

Sebelum pencabutan laporan, Khariq mengungkapkan bahwa pihak rektorat sempat memintanya untuk meminta maaf. Namun permintaan itu tegas ditolak. Sebab, menurutnya, taka da pelanggaran akademik dalam protes mahasiswa terhadap kenaikan biaya kuliah. “Kami nggak salah dan tujuan kami juga sebagai bentuk kampanye pencerdasan jadi pada akhirnya sampai akhir kasus kami ga ada minta maaf dan jatuhnya bu rektor sampai hari ini masih kesal,” jelas Khariq. (Indah Safitri)

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Putusan Bebas Tak Benar-Benar Membebaskan
Pembungkaman Ekspresi di Ruang Akademik
Sampai Dua Kali Menjadi Korban
Pukulan untuk Keluarga dan Serikat Pekerja
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!