Mengungkap Tindak Sewenang-wenang Perusahaan, Septia Dijerat ITE

Suara Septia, 25 tahun, tercekat. Ia teringat masa 21 bulan bekerja di PT LSI—perusahaan yang bergerak di bidang konsultasi pendirian usaha sejak 25 Januari 2021. Mula-mula Septia merasa senang mendapatkan pekerjaan di bagian marketing. Belakangan ia menyadari bahwa statusnya sebagai pekerja di kantor tersebut tak selalu aman. Ini karena tak sedikit pekerja yang mengundurkan diri maupun diberhentikan dengan berbagai alasan dan persoalan.

Tiap kali ada karyawan yang diberhentikan, Septia tak bisa tidak terpengaruh. Pun ia khawatir akan masa depannya. Salah-salah hal yang sama bisa terjadi terhadapnya. “Karena (pemecatan) itu bisa mendadak banget. Sedih, sampai lama-lama mati rasa,” kenang Septia saat dihubungi, Senin, 24 Juli 2023 malam.

Pada satu ketika Septia tak lagi ingin tinggal diam. Ia memilih untuk bersuara mengenai kondisi kantornya. Tepatnya Sabtu, 21 Januari 2023 pagi, Septia mengomentari postingan akun Twitter @askrlfess yang menulis terkait perlakuan atasan terhadap pekerja di kantornya. “Nggak mau ah soalnya suka potong gaji karyawan sesukanya, tapi sayangnya waktu potong gaji ngga pernah dikontenin dan pecatin karyawannya, tapi haknya nggak dikeluarin yang seharusnya. Slip gaji pun nggak pernah ada,” tulis Septia lewat akun @septiadp.

Dalam postingan tersebut Septia juga menyertakan tangkapan layar (screenshot) berisi percakapan Whatsapp Group mengenai pemotongan gaji tim produksi dan marketing masing-masing sebanyak Rp500 ribu. “Aku berharap ada perubahan, biar nggak ada karyawan yang terdzolimi lagi.” jelas Septia mengungkapkan alasannya memposting itu.

Unggahan itu kemudian direspons atasannya lewat pesan Whatsapp sekitar Pukul 17.26 WIB.  “Lawyer saya segera hubungi kamu ya,” demikian isi chat-nya.

Sehari berselang, yakni 22 Januari 2023, atasannya mengirimkan surat permintaan klarifikasi atas dugaan pencemaran nama baik. Namun, dua surat yang dikirim lewat jasa pengiriman JNE bernomor 8/SOM-MAP/UM/I/2023 tanggal 23 Januari 2023 dan kedua bernomor 8/SOM-MAP/UM/I/2023 tanggal 26 Januari 2023 sudah melewati tenggat waktu.

Belakangan Septia dilaporkan ke Kepolisian Daerah Metro Jaya oleh atasannya pada 27 Januari 2023. Septia dianggap melanggar pasal dugaan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik dan/atau fitnah sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (3) dan /atau pasal 36 jo pasal 51 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau pasal 310 KUHP dan/atau pasal 311 KUHP pada tanggal 21 Januari 2023.

Polisi lalu menindaklanjuti laporan tersebut dengan meminta klarifikasi kepada Septia lewat surat bernomor B/1619/II/RES.2.5/2023/Ditreskrimsus pada 15 Februari 2023. Septia diminta untuk memenuhi panggilan pemeriksaan pada 22 Februari 2023. Namun saat itu ia tak datang. Septia baru memenuhi surat panggilan kedua yang dilayangkan pada 13 Maret 2023 dengan didampingi kuasa hukum dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Nasional. “Aku datang sambil bawa bukti-bukti seperti bukti chat dan potongan gaji,” kata Septia.

Pihak kepolisian lalu menggelar mediasi antara pelapor dan terlapor sesuai perintah Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kapolri meminta agar seluruh jajarannya untuk mengedepankan langkah mediasi dalam penyelesaian kasus terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meski begitu, pelapor tidak menghadiri mediasi tersebut.

Sekitar 4 bulan berselang, Septia ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya. Penetapan itu dilakukan setelah mantan bosnya itu meminta ganti rugi sebesar Rp300 juta dan mewajibkan Septia untuk meminta maaf melalui media massa. Permintaan yang tidak bisa dipenuhi Septia tersebut diminta pada saat mediasi ke-2 yang digelar Selasa, 5 September 2023. “Mediasi gagal, lanjut penyelidikan. Sampai saat ini belum ada pemanggilan lagi. Info dari temanku, mereka ingin banget aku masuk penjara,” ucap Septia.

Tim kuasa hukum Septia dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Nasional, yakni Ganda M. Sihite dan Jales Purba menegaskan bahwa apa yang dilakukan Septia tidak melanggar UU ITE maupun KUHP. Balasan terhadap postingan Twitter yang dilakukan Septia merupakan bentuk kritik dan penilaian sebagai karyawan terhadap PT.LSI yang dinilai tidak pernah mendengar aspirasi dari karyawan dan tidak melaksanakan kewajiban terhadap karyawan.

“Pasal-pasal yang digunakan untuk membungkam Septia yang berani mengungkap keburukan sebenarnya PT.LSI dengan tujuan mengurangi korban itu bertentangan dengan HAM,” tegas kuasa hukum Septia.

Menurut Septia, kasus yang menimpanya tak lepas dari rentetan peristiwa yang terjadi pada akhir 2022. Saat itu, semua karyawan di bagian marketing disanksi berupa pemotongan gaji, bahkan dua karyawan di antaranya dipecat. Pemotongan gaji tersebut dilakukan perusahaan lantaran menganggap tim marketing tidak memenuhi target. Padahal Septia mengaku telah memenuhi target sebanyak 5 klien pada Oktober 2022. Apabila target tersebut terpenuhi sebelum laporan keuangan dan perpajakan tahunan, pihak perusahaan menjanjikan komisi sebesar 5%.

Namun komisi 5% tersebut tidak pernah ia terima. Atasannya mengklaim bahwa komisi tidak diberikan karena target berubah dari 5 menjadi 10 klien. “Kok tiba-tiba saat H-2 gajian? Kan nggak keburu, nyari lima orang lagi di mana? Terlihat seperti tidak konsisten,” Septia tak habis pikir.

Pada akhirnya impian mendapat gaji ditambah komisi sebesar Rp26.410.000 juta pupus. Septia hanya menerima uang sebesar Rp14.700.000. Hari itu, 27 Oktober 2022, Septia akhirnya mengajukan pengunduran diri. “Komisi tak jadi lima persen dan ada kekurangan gaji,” tukas Septia bersama kuasa hukumnya yang tengah memperjuangkan haknya sebagai pekerja.

Dalam proses mediasi ketenagakerjaan tersebut, menurut Septia, pihak perusahaan dianggap telah melakukan pelanggaran karena tidak membayar upah secara penuh. Sementara iuran BPJS Ketenagakerjaan pun diakui belum dibayarkan oleh PT LSI.

Kejanggalan demi kejanggalan sebetulnya sudah dirasakan dan dialami Septia sejak diterima kerja di PT.LSI. Ia dinyatakan lolos usai seleksi wawancara kerja yang dilakukan manajer marketing. Namun saat itu, Septia tidak segera menandatangani kontrak kerja karena alasan posisi manajer HRD belum terisi. “Kalau nggak salah selama kerja itu 3-4 kali tanda tangan kontrak dengan HRD yang berbeda,” ungkap Septia.

Silih bergantinya manajer HRD, menurutnya, mengakibatkan pengurusan jaminan BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan tak berjalan baik. Hal tersebut yang kemudian sempat dipertanyakan oleh pekerja. Alih-alih segera memperbaiki, pihak perusahaan malah mengenakan sanksi berupa pemotongan gaji pokok hingga Rp1,5 juta tiap bulan selama tiga bulan. “Sering banget memotong gaji,” ujarnya.

Septia pun pernah ketiban apes saat gajinya dipangkas hingga Rp2,5 juta pada Agustus 2022. Pemotongan itu terjadi gara-gara salah satu anggota timnya lupa tidak menghubungi calon klien potensial. Pemotongan kedua terjadi ketika Septia dianggap tak dapat dihubungi oleh klien saat cuti di akhir pekan. “Jadi harus merespon setiap chat maupun telepon dari klien terkait layanan PT LSI,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa para pekerja pun sering kali dilarang cuti mendekati akhir pekan. Entah itu hari Jumat atau Senin. “Yang aku rasakan saat kerja di sana itu aku seperti nggak punya kehidupan. Nggak punya waktu untuk diriku sendiri, teman dan keluarga,” tambahnya.

Hal lain yang disoroti Septia ialah peraturan terkait pola komunikasi di grup WA pegawai. Seluruh karyawan diwajibkan untuk memberi respon terhadap pesan yang disampaikan atasan. “Jadi kalau kita read, udah wajib harus respon walaupun dia ngomongnya ngga tertuju ke kita,” ucapnya heran.

Menurut Septia, seluruh karyawan juga wajib nge-like semua konten Instagram dan TikTok perusahaan dengan batas waktu yang sudah ditentukan. Jika dalam waktu yang sudah ditentukan tidak melakukan hal itu, maka gaji tak akan diterima penuh. Bahkan saat berkomunikasi dengan atasan melalui WAG kantor harus mengetik huruf “P” kapital untuk menyebut “Pak” dan “B” kapital untuk menyebut “Bu” saat berkomunikasi melalui WAG kantor sebagai tanda hormat. Tak ketinggalan emoticon mengatupkan kedua telapak tangan. “Chat dari Pak HKA hanya di-read (dibaca) saja, bisa kena marah atau fatalnya langsung pecat,” tukas Septia.

“Kalau kami memberi klarifikasi atau penjelasan, Pak HKA merasa sedang dibantah. Yang dibilang A ya A, nggak akan jadi B,” ia menambahkan.

Setelah hiruk-pikuk tersebut berlalu Septia mengaku masih trauma hingga saat ini. Sekalipun ia sudah memiliki pekerjaan baru, tapi kejadian yang menimpanya di PT.LSI tetap tinggal dibenaknya. Entah sampai kapan. “Panik, kayak dalam posisi menegangkan. Seolah-olah masih kerja sama dia,” Septia mengakui.

Meski begitu, Septia bertekad untuk memulihkan kembali hidupnya, serta menghadapi pelaporan dugaan pencemaran nama baik dan fitnah yang ditudingkan kepadanya. “Begini ya ternyata melawan orang yang punya kuasa. Tapi kalau kita punya kejujuran dan keberanian, kalau kita nggak salah, kita harus pertahankan itu dari apapun serangan yang menghancurkan keberanian kita,” tegasnya.  (Pito Agustin Rudiana)

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Aktivis PRP Ditangkapi Tanpa Bukti
Berkali Diselingkuhi, Kini Terpasung Status Tersangka UU ITE  
Stella: Tak Terkira Parahnya Dampak UU ITE
Buntut Panjang Menagih Utang
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!