Jelang masa jabatannya sebagai Kepala Jurusan Ilmu Komunikasi berakhir, Dr. Ramsiah Tasrudin mencalonkan diri dalam pemilihan Wakil Dekan 1 di Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada Agustus 2019 lalu. Namun, langkahnya terhenti ketika Kepolisian Resor Gowa menetapkannya sebagai tersangka pencemaran nama baik. Ramsiah dianggap melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Saya batal jadi wakil dekan 1. Nama saya langsung dicoret karena sudah tersangka,” kata Ramsiah ketika dihubungi pada Jumat, 17 September 2021.
Sejak menyandang status tersangka pada 1 September 2019, karir Ramsiah di kampus mandek. Ia hanya boleh mengajar, tanpa menduduki jabatan struktural. Pencalonannya sebagai kepala prodi pasca sarjana ilmu komunikasi pada 2020 lalu pun kandas. Padahal sebelum ditetapkan tersangka, karir Ramsiah di kampus terbilang moncer. Selama delapan tahun menjadi dosen, ia telah menduduki pelbagai jabatan, mulai dari sekretaris jurusan diploma, pengganti antar waktu ketua prodi jurnalistik dan kepala prodi ilmu komunikasi. “Pihak kampus harusnya menunggu putusan pengadilan,” ungkapnya.
Kasus Ramsiah bermula dari percakapan di WhatsApp Group (WAG) terbatas yang anggotanya terdiri dari dosen dan dekan. Mereka, termasuk Ramsiah, mengkiritisi keputusan Wakil Dekan 3, Nur Syamsiah yang menutup Radio Kampus Syiar UIN Alauddin pada Mei 2017. Alih-alih menerima kritik sebagai bagian dari jabatan, Nur malah melaporkan sebanyak 30 orang yang kedapatan berdiskusi daring ke Polres Gowa pada 5 Juni 2017. Dasar pelaporan itu ialah tangkapan layar dari percakapan di WAG tersebut.
Pasca pelaporan, puluhan orang yang dilaporkan Nur tak tinggal diam. Mereka merespon pelaporan dengan melakukan berbagai aksi penolakan, seperti mengajukan mosi tidak percaya terhadap wakil dekan 3, berkampanye di media sosial, menggelar forum diskusi, hingga menggalang dukungan.
Semula Ramsiah tak terlalu ambil pusing dengan pelaporan yang dilayangkan atasannya itu. Ia menilai bukti-bukti yang diajukan pelapor lemah lantaran hanya berupa tangkapan layar yang isi percakapannya bukan ditujukan untuk konsumsi publik.
Cerita Sejenis:
Namun dua tahun berselang, Ramsiah merasa dijadikan target dalam kasus dugaan pencemaran nama tersebut. Dari 30 orang yang dilaporkan, kepolisian hanya menyisakan satu nama, Ramsiah pada 1 September 2019. “Ada komentar-komentar yang jauh lebih keras dibanding saya. Tetapi pada akhirnya hanya saya yang ditetapkan tersangka,” ungkapnya.
Ramsiah menduga penetapannya sebagai tersangka tak terlepas dari konflik yang pernah terjadi di antara dirinya dengan pelapor. Jauh sebelum kasus pencemaran nama itu bergulir, Ramsiah pernah dilaporkan oleh Nur ke Komisi Disiplin Fakultas. Ramsiah dituding sebagai dalang dari aksi demonstrasi mahasiwa. Namun hasil pemeriksaan menyatakan bahwa Ramsiah tak bersalah. “Hanya karena lebih banyak mahasiswa komunikasi yang ikut aksi, saya dituduh yang menyuruh anak-anak mendemo dia,” ucapnya.
Hingga saat ini, Ramsiah sudah lebih dari dua tahun menyandang status tersangka. Sementara kasusnya sendiri sudah berjalan lebih dari empat tahun. Selama kasusnya berproses di Polres Gowa, menurut Ramsiah, setidaknya sudah tiga penyidik yang secara bergantian memeriksanya. Namun berkas perkara terhadapnya tak kunjung lengkap.
Merujuk surat permintaan informasi dan kepastian hukum penanganan perkara yang ditandatangani Kepala Kejaksaan Negeri Gowa, Yeni Andriani pada 5 Juli 2021, tertera bahwa terdapat ketidakpastian dalam proses hukum terhadap Ramsiah. Sebab meski telah dilaporkan pada 2017, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas nama Ramsiah baru teregister di Kejari pada 2019. “Artinya klien saudara dilaporkan sebagai tersangka pada 2017 tidak diteruskan ke Kejaksaan,” tulis Yeni.
Setelah itu, terjadi dua kali bolak-balik berkas perkara pada 2 September 2019 dan 7 Juli 2020. “Jaksa peneliti berpendapat bahwa berkas belum memenuhi syarat formil dan materil dengan ditindaklanjuti dengan P.18 (hasil penyidikan perkara belum lengkap),” lanjut surat tersebut disusul dengan surat pengembalian berkas bernomor B-347/Eku.1/107/2020 pada 24 Juli 2020.
Dalam surat tersebut juga diterangkan bahwa Kejari Gowa sempat mengirimkan surat pemberitahuan kepada Kapolres Gowa perihal tenggat waktu tambahan penyidikan. Kemudian pada 31 agustus 2020, penyidik Polresta Gowa kembali mengirimkan berkas perkara pada 31 Agustus 2020. “Dari hasil penelitian kembali berkas perkara tersebut bahwa petunjuk sebelumnya belum dipenuhi pihak penyidik. Dan jaksa peneliti mengembalikan berkas perkara pada tanggal 9 September 2020,” tertera dalam surat. Sementara pada Maret 2021, Ramsiah menerima salinan SPDP ke-3 yang dibuat 28 Februari 2021. Tapi oleh Kejari, lagi-lagi SPDP Polres Gowa dianggap tidak memenuhi syarat, sehingga dikembalikan pada 7 April 2021 lalu.
Hingga berita ini diterbitkan, Jaring.id telah berupaya mengonfirmasi alasan di balik bolak-balik berkas perkara Ramsiah kepada Polres Gowa. Meski begitu, Kapolres Gowa, AKBP Tri Goffarudin Pulungan tak menjawab pertanyaan yang diajukan lewat pesan singkat pada 14 September 2021 lalu. Sementara Wakil Kapolres Gowa, Soma Miharja hanya menjawab singkat pertanyaan yang diajukan. “Nanti saya konfirmasi dengan kasat reskrim, bu. Akan ditindaklanjuti,” katanya singkat.
Kamis, 23 September 2021 lalu, Polres Gowa melakukan pemeriksaan untuk kali ke-4 terhadap Ramsiah. Dalam pemeriksaan tersebut, menurut Ramsiah, pihak kepolisian kembali menanyakan pertanyaan yang sama, antara lain mengenai ponsel yang digunakan, grup percakapan dan nomor kontak yang digunakan ketika Ramsiah menyampaikan pendapat di WAG.
Kepada Jaring.id, Ramsiah sangat berharap segera mendapatkan kepastian hukum dari proses hukum yang sudah berjalan lebih dari 4 tahun. “Saya menginginkan UU ITE ini dihapuskan saja. Ini terlalu baper. Semua orang bisa kena hanya karena terlalu sensitif dan jadi media ajang membalas dendam,” katanya. (Debora B. Sinambela)