Saverinus Suryanto terhenyak mendapati surat panggilan pemeriksaan dari Kepolisian Resor Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Jumat, 19 Mei 2023. Rio—panggilan akrabnya, dijerat Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik (ITE) karena diduga melakukan pencemaran nama baik lewat media sosial. ”Saya dilaporkan oleh bupati sendiri,” kata Rio merujuk Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis, 5 Oktober 2023.
Pelaporan terhadap Rio bermula dari statusnya di Facebook. Saat itu, Rio menulis ”ASEAN Summit VS dugaan penggelapan sertifikat hak milik 200 kepala keluarga transmigran lokal Labuan Bajo,” setelah membaca status Instagram milik Serikat Pemuda Nusa Tenggara Barat (NTT) yang mengkritik KTT negara-negara Asia Tenggara tersebut. Rio menganggap penyelesaian kasus penggelapan sertifikat ratusan transmigran lokal jauh lebih penting ketimbang ASEAN Summit. ”Saya posting itu sebagai bentuk kritik terhadap kinerja bupati,” ujar Rio.
Hingga saat ini, Rio sudah dua kali diperiksa polisi. Pemeriksaan pertama dilakukan pada 13 Juli lalu. Sedangkan yang kedua berlangsung hanya lepas 13 hari atau 27 Juli 2023. Dalam pemeriksaan tersebut Rio telah berulang kali menyatakan maksud dari kritik di media sosial. Tidak pernah terbesit dalam benaknya untuk mencemarkan nama baik bupati, apalagi memiliki dendam pribadi kepada Bupati Edistasius. Namun, penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu bergeming. Sebab dalam berita acara pemeriksaan (BAP), menurut Rio, penyidik sama sekali tak memuat pernyataannya secara lengkap. Tak lama, pihak Kepolisian justru menaikkan status perkara tersebut dalam gelar perkara yang dilakukan Rabu, 30 Agustus 2023. ”Setelah itu ditetapkan sebagai tersangka,” ujarnya.
Kasus yang diungkap Rio di Facebook sebetulnya sudah berlangsung jelang akhir 1990-an. Diawali dengan program transmigrasi, pemerintah memindahkan warga Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur ke Kecamatan Komodo, Labuan Bajo pada 1997. Saat itu, sekitar 200 kepala keluarga dijanjikan lahan dan rumah. Total lahan yang akan diberikan kepada petani seluas 2 hektar, termasuk yang dijanjikan ke keluarga Rio. ”Pemerintah saat itu menjanjikan 3 lahan. Pertama lahan pekarangan dan rumah seluas 0,5 hektar. Lahan usaha 1 atau lahan kering 0,5, dan lahan basah 1 hektar,” jelas Rio yang saat itu pindah ke Labuan Bajo bersama orangtuanya saat duduk di kelas 4 sekolah dasar.
Dari jumlah itu, kata Rio, baru sertifikat rumah dan pekarangan yang diterima warga transmigran. Sedangkan lahan basah yang diproyeksikan untuk pertanian belum sama sekali. Padahal lahan tersebut sangat diperlukan petani, seperti keluarganya. ”Itulah yang kami perjuangkan. Pemerintah nggak bagikan ke kami SHM-nya. Karena itu kami tak bisa kuasai lahannya karena kami tidak tahu lahannya di mana,” katanya berapi-api.
Cerita Sejenis:
Guna menyelesaikan masalah, menurut Rio, warga transmigran sebetulnya sudah berulang kali meminta hak yang telah dijanjikan kepada pemerintah setempat. Bahkan, mereka sampai berunjuk rasa. Tapi sesering itu pula pemerintah daerah mengklaim tidak pernah menjanjikan lahan. ”Tidak ada lahan. Tanah orang. Lalu sertifikat terbit duluan, baru pengadaan lahan. Ini jawaban pemerintah nggak masuk akal,” tambahnya.
Hal itu yang kemudian membikin Rio memberanikan diri bersurat ke Presiden Joko Widodo pada Januari 2019 lalu. Warga meminta agar presiden turun tangan menyelesaikan penggelapan ratusan sertifikat warga transmigran. Kata dia, surat itu sempat dibalas lewat Menteri Sekretariat Negara, Pratikno pada 31 Mei 2019. Tapi isinya sekadar menyampaikan bahwa bupati Manggarai Barat pada 13 Maret 2019 telah memberikan penjelasan melalui surat Nomor TKT.56.560/24/Trans/III.
”Pada 1995 Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi Provinsi NTT melakukan sosialisasi secara teknis rencana pembangunan UPT Transmigrasi Nggorang kepada masyarakat dan calon transmigran, tidak pernah menjanjikan akan mendapatkan tanah lahan bahas seluas 1 hektar kepada transmigran karena kondisi riil tanah di UPT Nggorang seluruhnya adalah tanah kering, sehingga tanah kering yang akan dibagikan kepada calon transmigran adalah lahan pekarangan dan lahan usaha tanah kering,” demikian penggalan surat pemerintah daerah Manggarai Barat.
”Pada tahun 1997 Kanwil Departemen Transmigran NTT melakukan penempatan transmigran sebanyak 200 KK dan diberikan fasilitas antara lain; rumah tinggal, lahan pekarangan seluas 0,5 hektar, dan lahan usaha 0,5 hektar jumlah luasan yang diberikan seluas 1 hektar. Pada waktu itu, tidak pernah menjanjikan kepada transmigran akan mendapatkan lahan 2 hektar karena luas tanah yang tersedia di UPT Naggorang tidak mencukupi untuk mendapatkan 2 hektar untuk 200 kepala keluarga,” tertera dalam surat yang sama.
Namun Rio dan warga transmigran lain tak mempercayai klaim Pemda Manggarai Barat itu. Sebab mereka menyaksikan sendiri bagaimana lahan yang seharusnya diserahkan kepada warga transmigran diserahkan ke warga nontransmigran, baik untuk dijadikan lahan pertanian maupun tempat pariwisata. Praktik alih fungsi lahan itu, katanya, kerap terjadi karena Labuan Bajo memiliki keindahan bawah laut dan menjadi habitat kadal terbesar, Komodo yang digandrungi wisatawan mancanegara. ”Bahkan banyak transaksi jual beli lahan di kawasan itu,” kata Rio.
Akibatnya, para transmigran asal Ruteng yang berlatar belakang petani tak lagi bisa mengelola lahan untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Mayoritas transmigran lokal pada akhirnya bekerja sebagai buruh serabutan. Bahkan, kata dia, tak sedikit dari mereka yang menjadi pengangguran. Rio sendiri memilih profesi sebagai jurnalis. ”Kami tidak bisa kelola sawah. Padahal kami dulu pengelola sawah, kopi, dan cengkeh. Kami merasa ditipu dan kami mengalami kerugian. Banyak yang bekerja sebagai buruh harian untuk biaya hidup dan sekolah anak,” jelasnya.
Kini, sudah hampir 2 bulan Rio menyandang status tersangka. ”Saya merasa dirugikan karena ditetapkan sebagai tersangka,” tegas Rio. Ia merasa reputasi baik yang ia bangun selama ini hancur setelah dilaporkan bupati dengan UU ITE. Dampak serupa dialami keluarganya. ”Saya pun tidak bisa bekerja maksimal, jadi dibatasi dengan ditetapkan sebagai tersangka. Saya menduga status tersangka ini untuk membungkam gerakan,” ia melanjutkan.
Tapi bagaimanapun, yang paling ia sesalkan ialah tidak adanya pendekatan restorative justice alias upaya damai dalam kasusnya. ”Harusnya ada, namun ini tidak pernah diupayakan oleh polisi,” sesalnya. Padahal Kepala Kepolisian Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menerbitkan surat edaran (SE) terkait penerapan UU ITE sejak 19 Februari 2021 lalu.
Aturan itu kemudian dikukuhkan dalam Surat Telegram Nomor: ST/339/II/RES.1.1.1./2021 berisi pedoman penanganan kasus UU ITE, khususnya ujaran kebencian pada 22 Februari 2021. Kapolri Listyo Sigit memerintahkan agar pengusutan tindak pidana pencemaran nama baik, fitnah, maupun penghinaan tidak dilaksanakan penahanan dan dapat diselesaikan dengan mekanisme restorative justice.
Itu sebab, Rio berharap Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi segera mencabut laporan UU ITE terhadap dirinya. Pemerintah daerah, menurutnya, mesti mengartikan pesan yang disampaikannya lewat media sosial sebagai kritik ketimbang penghinaan. ”Harusnya berdiri bersama rakyat. Pemimpin kok mau memenjarakan rakyatnya sendiri karena mengkritik kerjanya. Kami tidak melakukan kejahatan,” pungkas Rio. (Abdus Somad)