Ravio Patra mendapati telepon genggamnya menampilkan pemberitahuan (notifikasi) yang dilayangkan Whatsapp pada Pukul 12.11 WIB, Rabu, 22 April 2020 lalu. Perusahaan aplikasi pesan berbasis internet itu menginformasikan bahwa nomor teleponnya digunakan perangkat lain. “You’ve registered your phone number on another device,” begitu tertera pada layar ponsel pintarnya. Dalam kondisi panik, Ravio kemudian memasukkan nomor telepon terdaftar, namun aplikasi Whatsapp-nya tak lagi bisa diakses. “Saya langsung panik. Kok bisa begitu,” ujar Ravio kepada Jaring.id, Rabu, 22 Desember 2021.
Whatsapp bahkan memblokir permintaan pin sementara (one time password–OTP) yang diajukan Ravio. Pasalnya, kata Ravio, Whatsapp menemukan aktivitas mencurigakan berupa percobaan masuk terlalu sering ke akunnya. “Saya memberikan warning pada teman-teman kalau Whatsapp saya diretas dan meminta agar saya dikeluarkan dari semua grup,” ucapnya.
Bersama dengan Damar Juniarto, Direktur Eksekutif lembaga pemerhati hak digital publik di jagat maya SAFEnet, Ravio menghubungi pihak Whatsapp dan Facebook, yang mengkonfirmasi upaya membobol akunnya. “Setelah Pukul 18.00 WIB baru kembali lagi akun saya,” ungkap Ravio.
Atas percobaan peretasan itu, Ravio bergegas mengganti alamat email, password, dan mengaktifkan kembali two-factor authentication. Alih-alih aman, nomor Whatsapp Ravio malah menerima puluhan pesan. Isinya umpatan dan ancaman pembunuhan. “Masuk dari nomor tak dikenal. Nomor asing yang mengirimkan umpatan dan ancaman. Saya bingung,” ucapnya.
Salah satu dari puluhan pesan dari nomor asing tersebut mengirimkan tangkapan layar yang berisi pesan Whatsapp berisi hasutan untuk melakukan penjarahan pada 30 April 2020. Pada tangkapan layar tersebut, tertera nomor Whatsapp milik Ravio sebagai pengirim pesan. “KRISIS SUDAH SAATNYA MEMBAKAR! AYO KUMPUL DAN RAMAIKAN 30 APRIL 2020 AKSI PENJARAHAN NASIONAL SERENTAK, SEMUA TOKO YG ADA DIDEKAT KITA BEBAS DIJARAH,” demikian bunyi pesan tersebut.
Cerita Sejenis:
“Melihat pesan ini, isi kepala saya terpikir bermacam-macam. Apakah saya sedang dibikin untuk jadi dalang kerusuhan? Apakah saya akan dijebak? Sebab 30 April itu sehari sebelum hari buruh–May Day,” ungkap Ravio bertanya-tanya.
Padahal, Ravio merasa tidak punya musuh atau tengah berkonflik dengan siapa pun. Terakhir, ia hanya menghubungi salah satu staf khusus milenial Presiden, Gracia Josaphat Jobel Mambrasar, di pagi hari sebelum ponselnya diretas. Ravio hendak menanyakan ihwal proyek pembangunan Papua Youth Creativity Center yang digarap perusahaan Billy—panggilan Gracia, yakni PT Papua Muda Inspiratif, sebab ditengarai adanya konflik kepentingan menimbang posisinya sebagai pejabat publik. Akan tetapi, kepada Ravio, Billy mengaku tidak bisa menjawab karena telah mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. “Saya hanya meminta klarifikasi. Saya minta bukti dia mengundurkan diri,” ujarnya.
Dimintai tanggapan, Billy tak menjawab pertanyaan yang dilayangkan Jaring.id melalui pesan Whatsapp-nya. Staf khusus Presiden Jokowi ini hanya menanyakan keperluan dari konfirmasi yang dilakukan Jaring.id. “Kira-kira Jaring.id ini objektif wawancaranya untuk apakah?” balas Billy.
Malam Penangkapan
Sekitar pukul 9 malam di hari yang sama selang beberapa jam setelah ponselnya diretas, Ravio disergap belasan laki-laki asing di depan Jalan Blora, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka turun dari sejumlah mobil–salah satunya bahkan langsung memiting Ravio sembari memaki dan berteriak.
“Rivo! Rivo! Kau Rivo kan?” teriak salah satu di antaranya seperti ditirukan ulang oleh Ravio.
“Benar ini kau? Ngapain kau kirim itu (pesan),” ujar pria asing tersebut sembari mencocokkan wajah Ravio dengan foto yang ia bawa.
“Kalian ini siapa?” tanya Ravio heran.
Menurut Ravio, penangkapnya tak dibekali dokumen apapun. Saat Ravio menanyakan identitas dan meminta surat tugas serta surat penangkapan jika benar mereka adalah aparat kepolisian, pria 28 tahun ini malah dibentak dan disuruh diam. “Saya minta surat tugas tidak pernah diberikan. Saya benar-benar tidak mau ikut saat itu karena tidak tahu mereka ini siapa,” ujarnya.
Seorang laki-laki kemudian menodongkan pistol. “Jangan sok pintar kau! Aku bedil juga kau,” ujarnya seperti ditirukan Ravio. “Terpaksa ikut karena ditodong pistol sama petugas. Saya diancam senapan. Saya enggak berani,” ia mengingat penculikan yang dialaminya setahun lalu.
Total ada empat orang polisi yang ada di dalam mobil tersebut. Ravio duduk di baris ketiga. Dalam perjalanan, polisi memaksa meminta akses masuk ke handphone dan laptop pribadinya. Meski berulang kali menolak, Ravio tidak punya banyak pilihan selain memberikan akses kepada polisi. “Gue plastikin juga lu. Enggak pulang lu habis ini,” kata Ravio menirukan ucapan polisi yang mengintimidasinya.
Dalam perjalanan menuju Polda Metro Jaya, Ravio berusaha mempertanyakan sebab dari upaya paksa yang ia alami. Tak lama, ia paham bahwa tindakan tersebut berkaitan dengan insiden peretasan akun Whatsapp dan penyebaran pesan bernada provokasi yang isinya mengajak untuk menjarah dan membakar pada penghujung April. Saat diperiksa Ravio baru tahu kalau laporan terhadapnya dibuat pukul 12.30 pada hari dia ditangkap atau lepas 19 menit setelah pesan autentikasi dari Whatsapp diterimanya.
Tak lama Ravio dibawa ke kamar kosnya di kawasan Menteng. Polisi dari Unit Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) menggeledah kamar tersebut dan menyita sejumlah barang pribadi. Berdasarkan Surat Perintah Sita no: SP. Sita/476/IV/2020/Ditreskrimum tertanggal 23 April 2020, barang bukti yang disita berupa satu unit ponsel Samsung S10, satu unit ponsel Iphone, satu unit Macbook 13 inch silver, satu unit laptop Dell.
“Penggeledahan tersebut tanpa prosedur karena tidak ada izin dari pengadilan negeri setempat dan tanpa diawasi dua orang saksi,” kata Ravio.
Setelah penggeledahan, Ravio dibawa kembali ke Polda Metro Jaya dan dipindah ke Unit Keamanan Negara (Kamneg) pada pukul 3 dini hari. “Total, saya ditahan di Kamneg selama 29 jam ditambah 4 jam di Jatanras. Saya tidak pernah makan apapun yang disediakan karena tidak percaya pada mereka. Hanya minum air mineral kemasan yang masih tersegel saja,” kata Ravio.
***
Lepas setahun sejak penangkapan tanpa prosedur yang dialaminya, Ravio mengaku tidak tahu persis alasan di balik penahanan yang ia alami selama 33 jam di Polda Metro Jaya. “Apakah ada laporan masyarakat? Atau laporan internal kepolisian? Sampai hari ini, tidak pernah ada penjelasan apapun dan informasinya berubah-ubah,” katanya.
Saat pemeriksaan, polisi terus mendesaknya untuk menjawab pertanyaan seputar dugaan kejahatan yang tidak pernah ia lakukan. Polisi menganggap Ravio sebagai dalang yang memprovokasi kerusuhan, sehingga perlu menjalani pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP). “Saya dipaksa menjawab,” tambahnya, “sekalipun saya terus menolak karena tidak didampingi penasihat hukum.”
Pengacara dari koalisi tolak kriminalisasi dan rekayasa kasus (Katrok) baru bisa menemui Ravio pada Kamis, 23 April 2020, sekitar pukul 5 sore setelah media sosial meramaikan tagar #BebaskanRavio. Pers pun mencoba mengungkap lokasi penahanan Ravio dengan menanyakan kepada pihak kepolisian. “Tidak ada yang tahu saya ada di Polda Metro meskipun tim koalisi bercerita mereka bertanya dari satu unit ke unit lain dan semua tidak mengakui saya ada di sana,” ujar Ravio.
Setelah didampingi pengacara, Ravio sempat menyampaikan hal ihwal peretasan telepon genggamnya. Tapi polisi bergeming. Alih-alih mengusut peretasan, polisi justru meminta Ravio menunjukkan bukti peretasan. Salah satu keterangan yang ia sodorkan ke polisi ialah konfirmasi dari Whatsapp yang dikirim melalui surat elektronik. Kepolisian lantas meminta agar Ravio membuka email pribadinya tersebut di komputer polisi. Setelah diperlihatkan, kepolisian tak juga percaya. “Berapa jam setelah itu, saya minta cek email lagi siapa tahu ada balasan dari orang Whatsapp. Namun tidak bisa karena ternyata salah satu dari mereka mengubah password email tanpa sepengetahuan saya. Sampai sekarang, saya kehilangan akses ke email tersebut,” kata Ravio.
Dalam kasus ini, polisi menjerat Ravio dengan Pasal 28 ayat 2 serta pasal 28 ayat 1 junto 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan juga pasal 14, 15 dan 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Ini pun pasal yang dikenakan selalu berubah-ubah dari awal hingga akhir. Pidananya berlapis-lapis,” ucap Ravio.
Sebelum diperbolehkan pulang, Ravio dan tim kuasa hukum memeriksa telepon genggam yang akan disita polisi. Mereka mendapati dua aplikasi yang dipasang pada hari insiden peretasan bernama Acquire dan IOS Geofence. “Saya tahu persis itu aplikasi baru karena saya tidak mengenalinya sama sekali dan baru dipasang pada 22 dan 23 April 2020 ketika saya sudah di Polda,” jelasnya.
Dampak Penculikan
Tak lama setelah gangguan terhadap dirinya sedikit reda, Ravio sempat mencari keadilan dengan melayangkan gugatan praperadilan dan melaporkan dugaan maladministrasi ke Ombudsman DKI Jakarta. Namun, keduanya tak membuahkan hasil. Gugatan yang dilayangkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 3 Juni 2020 ditolak hakim tunggal PN Jaksel, Nazar Efriandi. “Seluruh alasan yang diuraikan pendapat hukum adalah fakta yang dialami pemohon dan kemudian juga bukti-bukti yang diajukan tidak mendukung aspek formil,” tertera dalam putusan kasus Nomor 63/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel. Sementara Ombudsman Republik Indonesia menghentikan pengusutan laporan Ravio karena menganggap prosesnya telah kalah di praperadilan.
Ravio juga melaporkan penangkapan cacat prosedur yang dialaminya tersebut ke Divisi Propam Polda Metro. “Sempat ada panggilan klarifikasi sekali, namun setelah itu tak ada follow up lagi,” ujarnya.
Kini, lepas dari ruang interogasi, hari-hari Ravio tak sepenuhnya bebas. Ia mengaku masih menerima intimidasi di media sosial. Sahabat, keluarga dan rekan kerja pun ikut menerima gangguan serupa. “Bahkan teman-teman koalisi yang membantu advokasi pun juga sempat jadi korban doxing,” kata Ravio.
Karena pengalaman traumatik itu pula, Ravio tak lagi bisa tenang. Seringkali, ia menghabiskan waktu menatap tajam ke luar jendela rumahnya, sembari mengamati jika ada orang maupun mobil mencurigakan yang terparkir dalam waktu lama. Ia mengaku selalu merasa khawatir ada orang yang mengintai dan ingin mencelakainya. “Saya melihat diri sendiri sebagai sosok yang kuat, namun bagaimanapun pengalaman itu meninggalkan trauma dan rasa takut yang mendalam,” pungkasnya. (Abdus Somad)