“Hanya sistem bebas dan tanpa KKN yang bisa memungkinkan anak-anak bangsa ini bisa sampai pada posisi yang mereka inginkan,” ujar Saiful Mahdi dengan nada suara agak bergetar.
Lahir dan besar dalam kemiskinan serta diskriminasi, Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Aceh itu tahu betul arti kalimat tersebut. Ia ikut program pencangkokan dosen muda di Institut Teknologi Surabaya (ITS) hingga bisa melangkah jauh ke Cornell University, Amerika Serikat dan menyabet gelar Doctor of Philosophy pada 2011.
Saiful merasa berhutang pada sistem yang menjamin kesetaraan kesempatan. Ia hendak membayarnya ketika mengkritik proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil di Fakultas Teknik Unsyiah Kuala, Aceh. Miris, hal itu mesti membawanya menjalani delapan belas kali sidang di Pengadilan Negeri Banda Aceh dan berujung pada vonis 3 bulan penjara serta denda Rp 10 juta.
Hukuman tersebut bisa saja ia terima, tetapi ia tak hendak mengamini vonis yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang ia pegang. Saiful naik banding dan kasusnya masih berproses di Mahkamah Agung sampai sekarang.
Lebih dari 4.000 kilometer jauhnya, Furqan Ermansyah mengambil langkah serupa. Sempat divonis 10 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Nusa Tenggara Barat lantaran dinyatakan terbukti melakukan pencemaran nama baik, ia memilih banding. Keputusan tersebut diambil lantaran pramuwisata di Lombok tersebut percaya bahwa kritik tak boleh dianggap sebagai tindak pidana.
Meski kalah di tingkat banding, pria yang akrab disapa Rudy Lombok tersebut tak lantas putar haluan. Sekarang, ia aktif membela para korban UU ITE di Lombok. Salah seorang yang pernah dia advokasi adalah Baiq Nuril Maknun, perempuan korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh atasannya.
Baiq menjalani proses hukum berliku. Empat tahun ia mesti bolak-balik ruang sidang, dengan 2 bulan 3 hari di antaranya dirasakan di balik jeruji penjara. Perjuangan perempuan yang sempat bekerja sebagai staf di bagian Tata Usaha tersebut dipungkasi amnesti yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo pada 29 Juli 2019.
Saiful, Furqan, dan Nuril cuma sedikit dari ratusan korban pasal karet UU ITE. Berdasarkan data yang diolah dari laman Salinan Putusan Mahkamah Agung, terdapat 1.842 kasus yang menggunakan UU ini sepanjang 2013 hingga kuartal pertama tahun ini.
Data lain yang dirilis oleh Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyebut kalau 68 persen pelapor yang menggunakan pasal karet UU ITE sepanjang 2008-2020, berasal dari kelompok yang memiliki kekuasan. Mulai dari kalangan berduit, pejabat publik, hingga kalangan profesi.
Banyak dari terlapor hanya orang biasa yang sedang memperjuangkan haknya. Salah satunya adalah Vivi Nathalia. Kasusnya bermula dari hutang senilai Rp 450 juta yang tak kunjung dibayar meski sudah ditagih secara baik-baik. Uang tersebut adalah perasan keringatnya pontang-panting bekerja sebagai guru piano, pembawa acara, hingga penyanyi.
Segendang sepenarian, Muhadkly Acho dilaporkan pengelola unit apartemen tempatnya tinggal. Melalui blognya, pria yang dikenal sebagai Komika tersebut menerangkan sejumlah masalah pengelolaan apartemen seperti penyerahan sertifikat kepemilikan, lahan parkir dan penyediaan area hijau. Ia juga mengeluhkan pungutan atau yang diklaim pihak apartemen sebagai biaya izin supervisi.
Tak lupa kasus Ervani Handayani yang mesti merayakan ulang tahun pernikahan dari penjara. Ia dilaporkan perusahaan tempat suaminya bekerja setelah menumpahkan amarah di sosial media terkait pemecatan suaminya.
“Saya langsung drop, tidak berhenti menangis. Padahal saya bukan orang yang suka menangis. Saya menangis sampai menjerit-jerit,” ujarnya mengenang momen ketika ia dibawa mobil tahanan menuju lembaga pemasyarakatan Wirogunan, Yogyakarta.
Sedikit korban UU ITE yang bercerita di Semua Bisa Kena tak bisa menggambarkan besarnya dampak undang-undang ini. Ada hubungan keluarga yang hancur, sumber penghidupan yang hilang, hak konsumen yang diabaikan, kebebasan pers yang dilanggar, dan tak kurang mengerikannya adalah trauma yang ditimbulkan.
Para korban UU ITE yang membagikan kisahnya kepada kami, kerapkali dengan berurai air mata, bukan sekadar penyintas. Mereka adalah pejuang yang rela membuka luka. “It’s all worthed” ujar Saiful Mahdi.
Tujuannya, semata-mata agar tak ada korban lainnya. Kami yakin, masih banyak korban UU ITE lainnya yang punya kisah dan tujuan serupa.