Pukulan untuk Keluarga dan Serikat Pekerja

Suasana riang mendadak suram selepas Andi Hidayat menutup panggilan telepon. Sambil terisak ibunya mengabari kalau dua pucuk surat dari Kepolisian Resor Jakarta Selatan lagi-lagi sampai ke rumah. Andi diduga melanggar Pasal 27 (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena melakukan pencemaran nama. Menurut versi polisi, surat itu adalah pemanggilan kelima. 

“Hadiah ulang tahun kok gini amat,” ujar Andi mengenang malam 18 September 2020, hari yang sama ketika putrinya berulang tahun. 

Kasus yang menimpa Andi bermula saat ia terkena pemutusan hubungan kerja pada Juli 2018 lalu. Pelbagai upaya mulai dari perundingan hingga mediasi sudah dilakukan. Semuanya mentok. Bersama rekan-rekan kerjanya, Andi kemudian berunjuk rasa meminta agar perusahaan kembali mempekerjakannya sesuai Nota Pemeriksaan Khusus dari Dinas Tenaga Kerja Jawa Barat. Tapi alih-alih dipekerjakan kembali Andi malah dilaporkan ke polisi. Laporan itu muncul di tengah langkah Andi menggugat PT Nippon Konpo Indonesia, perusahaan tempatnya bekerja, ke Pengadilan Hubungan Industrial di Bandung, Jawa Barat. 

Dalam gugatan bernomor perkara 14/Pdt.Sus-PHI/2020/PN Bdg, nama Andi didaftarkan sebagai penggugat. Beberapa gugatan yang diajukan pada perusahaan antara lain pembatalan PHK, membayar upah dan mempekerjakan kembali buruh yang di-PHK. Namun, langkah hukum yang didukung ratusan buruh tersebut mendapat serangan balik dari pihak perusahaan saat gugatan masuk sidang kedua. 

Andi tak pernah tahu duduk perkara pelaporannya hingga memenuhi panggilan kelima dari Polres Jaksel. Para penyidik menggunakan unggahan di akun Facebook rekan kerjanya sebagai barang bukti. Dalam unggahan tersebut, Andi berpose di depan spanduk bertuliskan “PHK Sepihak” yang dipasang serikat pekerja sebagai protes atas tindakan perusahaan. Unggahan tersebut tak diketahui Andi, pun si teman tidak menandai akun Andi. 

“Saya dianggap membiarkan postingan tersebut tersebar di media sosial. Bisa saja saya bikin postingan baru, mencatut nama orang, lalu orang tersebut dijadikan tersangka,” terangnya.

Pria kelahiran Sukabumi, 26 tahun ini diminta datang ke Polres Jaksel untuk dimintai keterangan pada Maret 2020. Sebulan berselang, surat panggilan kedua sebagai saksi dikirim. Status yang sama dibubuhkan pada surat panggilan ketiga. Namun, statusnya berubah menjadi tersangka pada surat panggilan terakhir September lalu. Polisi mengklaim Andi tak kooperatif memenuhi panggilan sebelumnya. 

Andi memang baru memenuhi panggilan polisi pada 16 November 2020. Saat pemanggilan kedua, Andi berhalangan karena jadwal pemanggilan tersebut bertepatan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hal itu, ia jelaskan dalam surat pernyataan tak bisa hadir yang dilengkapi dengan surat keterangan kepala desa.

Anehnya, surat panggilan ketiga dan keempat yang dilayangkan polisi tak pernah sampai ke rumah. Polisi menyatakan bahwa alamat rumahnya tak ditemukan kurir, sehingga surat dikembalikan ke kepolisian. Padahal alamat yang tertera sesuai dengan alamat surat panggilan pertama, kedua dan kelima. 

***

Sebelum kontraknya diputus sepihak, Andi sempat bekerja sebagai buruh PT NKI selama 4 tahun. Gajinya sedikit di atas upah minimum regional Kabupaten Karawang yang ketika itu berkisar di angka Rp 3,6 juta. Tapi  kini kantongnya kembang kempis. Sementara keinginan untuk melamar ke perusahaan lain pun berakhir kandas. Pihak personalia yang kerap meminta Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) tidak bisa mempekerjakan Andi karena status tersangka. Akibatnya ia harus mau bekerja serabutan, mulai dari menjual jasa pemasangan dan perbaikan pendingin udara, hingga berjualan baju. “Jauh (pendapatan) kalau dibandingkan saat kerja dulu,” terangnya.

Kocek yang mengempis dengan kebutuhan istri serta anak yang tak bisa dikesampingkan, membuat Andi tak mungkin membayar pengacara untuk mendapat pendampingan hukum. “Memang yang drop keluarga. Orang tua sampai menangis, ketakutan. Mereka terus bertanya ini (proses hukum) sampai kapan?” ujarnya. Beruntung, ia sempat membangun jaringan saat mengikuti pelatihan paralegal yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2019. Dari situ ia mengenal Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) Muhammad Arsyad.

“Waktu pertama kali dapat surat (pemanggilan) itu, saya komunikasi dengan Bang Arsyad, datang ke rumahnya. Bang, ini bagaimana? Saya nggak punya duit buat bayar pengacara,”  kenang Andi sembari tersedu—hal yang tak mungkin dilakukan saat keluarga bertanya soal kasus hukum yang menjeratnya. 

Menurutnya, pelaporan menggunakan UU ITE tidak hanya berimbas pada dirinya, melainkan juga pada soliditas serikat pekerja. Satu per satu anggota serikat telah mengundurkan diri. Dari ratusan pekerja, kata dia, kini hanya sepuluh orang yang tersisa. Para pekerja tak lagi berani bersuara, meski dirugikan oleh perusahaan. “Kasus saya dijadikan contoh buat kawan-kawan yang di dalam (perusahaan). Kalau misalkan kamu mau menuntut hak, kasusnya nggak jauh beda dengan ini,” terangnya. (Kholikul Alim)

 

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Dibayangi UU ITE dan Kemenangan Warga atas Air
Pidana ITE Setelah Persaingan Usaha Kolam Koi
Kian Ngeri Unjuk Gigi
Dipenjara Kala Bersuara Antirasisme
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!