Berkali Diselingkuhi, Kini Terpasung Status Tersangka UU ITE  

“Saya ditahan bersama anak nomor dua yang saat itu berumur 1,5 tahun dan masih menyusui. Tidak pernah terlintas di pikiran bahwa bayi saya harus mengalami hal seperti itu. Di lain sisi, saya juga harus berpisah dengan anak pertama yang berumur 5 tahun dan dia sedang terganggu psikologisnya karena permasalahan saya dan suami yang sudah bergulir bertahun-tahun.”

 

Masa penahanan di Polresta Denpasar, Bali pada April 2024 lalu masih membekas di benak Anandira Puspita Sari. Dokter gigi usia 34 tahun ini sebelumnya ditahan karena dianggap melanggar Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) lantaran mengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perzinahan yang dilakukan suaminya. Sejak itu, ingatan atas penahanan tersebut menjadi momen traumatik yang selalu membayangi ibu dua anak ini.

Kasus yang menjerat Anandira bermula pada Februari 2022 lalu. Saat itu, Anandira melaporkan suaminya, Lettu Ckm drg Malik Hanro Agam ke Polisi Militer Kodam (Pomdam) IX/Udayana. Perwira TNI yang bertugas di bidang Kesehatan Kodam IX/Udayana itu dilaporkan karena melakukan KDRT, dugaan perzinahan, dan asusila dengan perempuan berinisial AN dan LEC. Namun, menurut Anandira, dari dua kasus yang dilaporkan hanya perkara KDRT saja yang dilanjutkan oleh penyidik.

”Setelah suami saya diputuskan bersalah atas tindak pidana KDRT dan divonis 8 bulan penjara di Rumah Tahanan Militer Surabaya, suami saya tidak juga kunjung ditahan dengan alasan masih melakukan upaya banding,” jelas Anandira kepada Jaring.id, Senin, 23 September 2024.

Dua tahun berselang, tepatnya pada 12 Januari 2024 lalu, Anandira kembali melaporkan Agam ke Pomdam IX/Udayana terkait kasus perzinahan dengan perempuan lain berinisial AN, sekalipun keduanya sudah mengajukan cerai melalui Pengadilan Agama sejak dua tahun lalu dan masih dalam proses kedinasan di TNI.

Tak lama kemudian, pada 15 Januari 2024, Anandira kembali menyampaikan laporan dugaan asusila antara Lettu Agam dengan perempuan BA yang merupakan anak dari seorang pejabat kepolisian.

”Ibunya BA menghubungi saya dan meminta saya menanyakan ke kamu. Kamu mau melanjutkan (laporan) ini atau gimana?” ucap Dira menirukan perkataan Lettu Agam saat meneleponnya pada 20 Januari 2024.

Anandira menjawab, ”Saya akan terus melanjutkan proses hukum yang sudah berjalan di Pomdam IX/Udayana.”

Keesokan harinya, pada 21 Januari 2024, kuasa hukum BA justru melaporkan Anandira dan Hari Soelistyo Adi ke Polresta Denpasar dengan nomor LP/B/25/I/2024/SPKT/Polresta Denpasar/Polda Bali. Anandira dituduh telah mengambil foto pribadi BA tanpa izin dari media sosial dan turut serta merencanakan, menyebarkan foto-foto itu melalui akun @ayoberanilaporkan6 yang dikelola oleh Hari Soelistyo.

Penyidik Polresta Denpasar kemudian menetapkan Anandira dan Hari sebagai tersangka pada 4 April 2024. Namun dalam surat tersebut tak tertera jadwal pemeriksaan. Keduanya dianggap melanggar Pasal 48 Ayat (1) Jo Pasal 32 Ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, yakni sebagai orang yang melakukan dengan sengaja dan tanpa hak mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi suatu informasi elektronik.

Meski begitu, Anandira menegaskan bahwa ia tidak pernah meminta Hari Soelistyo untuk mengunggah data BA di akun @ayoberanilaporkan6 dan memviralkan kasus dugaan perselingkuhan Lettu Agam. Data dan bukti perselingkuhan yang diberikan kepada Hari Soelistyo, sebagai kuasa hukumnya semata untuk memenuhi kebutuhan persidangan. Namun Hari ternyata mengunggah semuanya tanpa sepengetahuan dan seizin Anandira. Dalam wawancara dengan Jaring.id, ia berulang menekankan bahwa dirinya sama sekali tidak pernah ikut campur, atau ambil andil dalam postingan tersebut.

Oleh sebab itu, Anandira berharap agar pihak kepolisian segera menuntaskan konflik ini dengan cara dialogis dan mediasi yang melibatkan pelapor, terlapor, pihak keluarga, maupun pihak lain yang terkait. “Restorative Justice sudah pernah diupayakan sebanyak dua kali, namun dikatakan saya yang menolak. Kenyataannya sejak awal, justru dari pihak kuasa hukum saya yang menanyakan kenapa saya tidak diberikan kesempatan untuk RJ,” ungkapnya.

 

Ditangkap dan Langsung Ditahan Bersama Bayi

Tepat sehari sebelum Idul Fitri 2024, sekira pukul 13.00 WIB, Anandira ditangkap dalam perjalanan menemui kuasa hukumnya, Agustinus Nahak di Cibubur, Jawa Barat. Ia ingat betul, ada tujuh anggota Polresta Denpasar yang datang dengan menggunakan 2 (dua) mobil Innova.

”Saya langsung diminta ikut dan masuk ke dalam mobil Innova tanpa mengindahkan tangisan anak pertama saya di dalam mobil. Saat itu mereka tidak dapat menunjukan surat penangkapan. Saya juga berupaya menghubungi kuasa hukum saya dan keluarga. Namun handphone saya langsung diambil oleh penyidik Polwan dan saya dilarang untuk menghubungi kuasa hukum dan keluarga. Saat itu saya bersama bayi yang masih menyusui ASI,” terangnya.

Polisi mengklaim, seperti yang diberitakan oleh sejumlah media, penangkapan dilakukan karena Anandira mangkir dari pemeriksaan. “Padahal kenyataannya saya tidak pernah sama sekali mangkir dalam pemanggilan. Bahkan saya diperiksa selama 12 jam lebih padahal anak saya sedang dalam kondisi sakit,” tegasnya. Ia menambahkan, surat panggilan pemeriksaan sebagai tersangka pun baru dilayangkan ke rumah pada 6 April 2024.

Sejak penangkapan itu Anandira ditahan di Rumah Aman milik UPTD PPPA Provinsi Bali. Di sana ia sempat diperiksa selama hampir 12 jam, mulai pukul 10.00 WITA hingga 01.00 dini hari. Dalam rentang waktu itu, polisi kerap memotret dirinya dan anaknya, termasuk pada saat tengah malam.

Pada April 2024, Anandira melaporkan perlakuan anggota Polresta Denpasar tersebut ke Propam Polda Bali. Namun berdasarkan surat jawaban yang diterimanya pada September 2024 lalu, dinyatakan bahwa segala yang dilakukan pihak kepolisian sudah benar.

”Padahal waktu itu saya sedang menyusui anak. Saya tidak tahu untuk apa sebenarnya foto-foto tersebut. Saat di sana saya juga tidak diizinkan untuk sholat Idul Fitri dan tidak diizinkan dijenguk oleh siapapun pada saat Hari Raya Idul Fitri,” jelas Anandira yang telah melepas kariernya sebagai dokter gigi sejak menikah dengan Lettu Agam.

Penangkapan ini yang kemudian menyita perhatian publik, termasuk dari Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Selain langsung menemui Anandira, Kementerian PPPA juga memberikan pendampingan dalam bentuk saksi ahli anak dan psikologis kepada anak Anandira. Seminggu setelah kedatangan menteri, penahanan Anandira ditangguhkan.

“Saat ini saya memang sudah dalam kondisi baik dan sehat. Hanya saja untuk pulih secara psikologis, pasti membutuhkan waktu. Terutama untuk anak perempuan saya yang masih mendapat pendampingan psikologis dari Kementerian PPPA bagian perlindungan anak,” ungkap Anandira yang saat ini tinggal di Jakarta bersama kedua anaknya.

Anandira berharap perkara yang menimpanya sebagai kasus terakhir. Ia tidak ingin perempuan lain mengalami hal serupa, terutama para istri yang sedang berjuang mencari keadilan. Sebagai korban KDRT, ia tahu, betapa beratnya mengumpulkan keberanian untuk membikin laporan. Menurutnya, penting bagi para penegak hukum untuk memberikan dukungan kepada korban alih-alih melakukan kriminalisasi.

”Saya berharap kepada perempuan-perempuan untuk bisa mandiri dalam hal finansial, agar apabila jika terjadi sesuatu pada rumah tangganya, mereka bisa mengambil langkah berani untuk kebaikan jiwa dan mentalnya. Terpenting adalah sangat berhati-hati dalam memilih pendamping hukum, karena saya tidak mau apa yang terjadi kepada saya bisa berulang kepada orang lain. Jangan karena kasus saya ini, semua perempuan, terutama korban KDRT atau perselingkuhan jadi takut melapor. Saya yakin kebenaran mau ditutupi seperti apapun pasti akan muncul,” tegasnya.

 

Banyak Kejanggalan, Harus Ada Batasan yang Jelas

Pengacara Hendarsam Marantoko yang saat ini menjadi kuasa hukum Anandira menyebut banyak kejanggalan dalam penetapan status tersangka sekalipun Lettu Agam sudah dinonaktifkan dari Kodam IX/Udayana dan ditahan di Tahanan Militer Kupang. “Kita patut menduga bahwa ini hanya versi dari pelapor saja yang digunakan untuk menetapkan Anandira sebagai tersangka. Fakta yang Anandira alami dan rasakan, itu tidak dimasukkan. Status tersangka ini membuat beliau susah melakukan apapun, termasuk juga untuk sekolah S2 dan ambil spesialis. Kan bisa terhambat nantinya,” ungkapnya.

Pada 24 Juli 2024 lalu, Hendarsam mengajukan surat permohonan gelar perkara khusus ke Karowassidik Bareskrim Polri. Tujuannya agar bisa terang duduk persoalan kasus ini. Apabila dikabulkan, dalam gelar perkara nanti, Ia akan mengungkap fakta dan bukti bahwa tidak ada hubungan antara Anandira dengan unggahan yang dibuat Hari Soelistyo pada akun @ayoberanilaporkan6.

“Jadi ini masih menggantung statusnya. Belum P21. Hanya saja dengan status tersangka, Anandira akan terpasung terus seperti ini dan sewaktu-waktu bisa naik. Dari pihak Komisi III DPR RI juga menganjurkan Restorative Justice untuk perkara ini. Saya dengar itu tidak ditindaklanjuti. Saya dengar juga, Anandira diminta mohon maaf ke pelapor, baru kemudian ada perdamaian. Tapi kalau ini kan aneh,” ucapnya.

Hendarsam berharap apabila nanti perkara ini terang benderang, pihak kepolisian atau penyidik Polresta Denpasar bisa berbesar hati menganulir penetapan tersangka ini. “Karena tidak ada salahnya juga, itu lebih baik menurut saya. Kami tidak ingin perkara ini naik. Tentunya kejaksaan pasti akan sangat berhati-hati juga dengan perkara ini. Jangan sampai kejaksaan nanti disalahkan,” imbuhnya.

Jika kasus ini tidak segera ditangani dengan baik dan bijak, Hendarsam khawatir korban-korban lainnya tidak berani untuk speak up dan melapor. Dalam penanganan kasus ini, menurutnya, aparatur hukum seharusnya menempatkan korban sebagai korban, bukan malah korban sebagai pelaku.

“Apa yang sudah dilakukan Anandira sudah tepat sebenarnya. Dia menggunakan kanal-kanal yang sudah ada, hire lawyer. Jadi mau ke mana lagi? Dia hanya ingin mengawal perkara ini secara hukum. Apa yang dilakukan Anandira, itulah yang perlu dilakukan korban lain, mencari pendamping hukum. Nah sekarang penegak hukumnya yang harus bijak,” ujar Hendarsam.

Hendarsam menilai sudah seharusnya ada konstruksi khusus atau bingkai hukum yang jelas, sejauh mana batasan-batasan UU ITE. “Cara-caranya bagaimana. Itu yang harus kita sama-sama pahami. Polisi, pengacara, dan yang lain biar punya pakem-pakem yang jelas. Termasuk juga para korban, sehingga semua pihak bisa wise menyikapi,” lanjutnya. (Ni Ketut Sudiani)

Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!

#SEMUABISAKENA
Pencemaran Nama saat Kritik Pencemaran Laut Karimunjawa
Guyon yang Berbuntut Panjang
Di Ujung Laporan Ada Dugaan Pemerasan
Kritik Kenaikan Biaya Kuliah, Mahasiswa Unri Diadukan Rektor ke Polisi
Bagikan ceritamu!

Kamu memiliki kisah yang serupa? Ayo bagikan sekarang!

Adukan kasusmu!

Kamu sedang menghadapi kasus serupa? Ayo adukan sekarang!